Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Sabtu, 02 Juli 2016

NUGAL, TRADISI TAHUNAN



Sebelum masuk waktu mengajar, biasanya kami para guru duduk santai di teras kantor. Tiba-tiba Mbak Citra Citra datang dengan sebuah undangan lisan.
“Perhatian… Perhatian… Menyambung bahasa dari Ibu Kepala Kampung bahwa Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu sekalian diundang untuk hadir dalam kegiatan menugal besok pagi di ladang Bapak Kepala Kampung, rencana sebentar sore kami sudah mulai berangkat ke ladang sekaligus bermalam di sana. Demikian undangan ini, terima kasih”
Menugal adalah salah satu rutinitas tahunan bagi warga Kampung Lesan Dayak dengan cara menumbukkan sebuah tongkat runcing ke tanah hingga berlubang kemudian diisi dengan bibit padi gunung dengan jumlah relatif berbeda, lebih kurang 5 biji bibit padi. Biasanya mereka menugal diawal musim penghujan tepatnya pada awal bulan Oktober hingga Novenmber.
Sepulang dari sekolah, Aku dan Pak Ilham membantu Mbak Citra Citra mengambil kelapa di belakang rumah yang ku tempati.
“Pak Guru ikut bermalam di ladangnya Pak Kepala Kampung ya? Tanya Mbak Citra Citra kepada kami.
“Iya Mbak Citra, jam berapa nanti berangkatnya?” Jawab ku disertai sebuah petanyaan.
“Sekitaran pukul 04.00 sore lah pak”
“iya Mbak Citra, nanti Aku minta izin dengan rekan-rekan guru yang lain” .
Pembicaraan itu berlangsung lama dan mulai meluas. Aku pun pamit pulang ke rumah untuk makan siang karena selama pulang pulang sekolah, Aku belum pernah makan.
“Pak Guru siap-siap ya? Nda lama lagi akan berangkat” Panggilan Mbak Citra Citra sebelum Ia berangkat.
Aku dan Pak Ilham mulai menyiapkan segala perlengkapan menginap dan menugal. Sementara dalam persiapan, sebuah pertanyaan menari-nari di pikiranku “bagaimana rasanya menugal ya? Sepertinya, aku sudah nda sabar ikut menugal di ladangnya Pak Kepala Kampung.
Saat itupun tiba. Kami berangkat ramai-ramai menggunakan katinting Pak Hasan. Beliau merupakan seorang pendatang yang sudah berdomisili di Kampung Lesan dayak dan juga merupakan operator kampung yang selalu menyalakan dan memadamkan mesin listrik tiap malamnya.
Matahari sudah mulai tenggelam di ujung barat dari ladang tempat kami bermalam, sebuah pertanda bahwa malam akan menggantikan siang duduk di singgasananya dan juga berarti bahwa waktu magrib telah tiba.
Setelah mengambil air wudhu di sungai, kamipun beranjak ke tenda untuk melangsungkan shalat magrib secara berjamaah. Pak Hasan yang menjadi Imam, Aku dan Pak Ilham yang menjadi Makmumnya. Shalat magrib berlangsung dengan tenang meskipun dikeramaian Ummat Nasrani. Saat itu, kami menjadi pusat perhatian sementara bagi mereka. Sungguh pengalaman yang istimewa bagiku, sebuah toleransi beragama dapat Aku pelajari dari kegiatan seperti ini.
“Ini adalah kali pertama saya memperllihatkan diri shalat dihadapan mereka pak, kalau sebelum-sebelumnya pak, saya selalu mencari tempat yang tertutup untuk shalat” ungkap Pak Hasan sambil kami duduk di depan tenda.
Aku hanya bisa diam dan mengangguk sembari melemparkan senyuman ke muka Pak Hasan. Malam itu, kami saling membagi pengalaman dan terkadang kami tertawa dengan selipan candaan.
Pembicaraan itu sempat terhenti karena Pak Bit dan Pak Iwan datang dari berburu dengan hasil buruan adalah seekor planduk. Setelah kuperhatian hasil buruannya, Aku tersenyum dan dan berfikir bahwa pertanyaan yang selalu menggelitik di pikiranku, sekarang sudah terjawab.
“ow… Ternyata planduk itu adalah seekor kancil” ungkapku dengan senyuman dan perasaan yang legah.
“iya pak, bahasa disini adalah planduk, kalau bahasa Indonesianya adalah kancil” respon salah seorang warga kampung yang menemani kami duduk di depan tenda.
Kuhampiri buruan itu, sembari mengambil gambarnya dengan Handphone yang Aku punya dan bertanya kepada Iwan “berapa kali tembakan lalu mati planduk ini?”.
“Banyak kali pak, ini ada peluru yang tembus di rahangnya, ada juga yang tembus di perutnya” Jawab Iwan sambil menunjuk semua bagian tubuh hewan yang kena tembakan.
Setelah itu, Aku kembali ke tempat duduk tadi bersama pak Hasan dan warga kampung lainnya.
“Bagus kekompakan di kampung ini pak ya? Setiap ada kegiatan nugal seperti ini, warga kampung berbondong-bondong datang unutk membantu” tanyaku kepada pak Elisa, beliau adalah bendahara kampung sekaligus menjabat sebagai kaur pemerintahan Kampung Lesan Dayak.
“Iya pak, beginilah kami setiap tahunnya” jawab pak Elisa.
“Adakah adat atau kegiatan tertentu sebelum nugal pak?” kembali kulontarkan pertanyaan kepada pak Elisa.
“Dulunya sich ada pak membuat nasi lemang, tapi sekarang sudah jarang orang yang melakukannya”.
“Ow” kataku sambil menganggukkan kepala.
“Saat ini kan sudah alat yang mempermudah kita, jadi tinggal dimasak aja”
Pembicaraan kami makin lama makin asyik. Tiba-tiba turun hujan,. Dengan cepat kami gulung tikar lalu masuk ke tenda. Sementara ibu-ibu yang tadinya masak juga harus bergegas mengangkat perlengkapan masaknya masuk ke tenda.
Tenda itulah yang menjadi pelindung kami selama berada di ladang Bapak Kepala kampung. Lebih kuran sejam, hujan pun berhenti dan warga kampung kembali beraktivitas seperti sedia kala, ibu-ibu kembali memasak, bapak-bapak kemabli diskusi dengan tema yang tidak menentu.
Kulihat jam tangan yang melingkar di tanganku, ternyata sudah pukul 02.30 dini hari. “Waktunya istirahat, jangan sampai Aku begadang bisa-bisa ngantuk besoknya. Tujuanku ke sini kan ingin membantu Bapak Kepala Kampung sekaligus menambah pengalamanku” dalam hati Aku bergumam.
Pukul 04.30 dini hari kuterbangun dan tak bisa tidur lagi, segala persiapan untuk shalat subuh pun ku lakukan mulai mengambil air wudhu sampai mendirikan shalat subuh pukul 05.00. Satu persatu warga pun terbangun untuk menyiapkan segala keperluan untuk nugal nanti termasuk sarapan kami.
Aku pun memulai pagi dengan merenggangkan otot-ototku sambil berjalan santai mengelilingi ladang Bapak Kepala Kampung yang sudah di bakar itu, luasnya lebih kurang 2 hektar.
Mandi di gresik adalah salah aktivitas yang ku tunggu selama di Kampung Lesan Dayak, akhirnya kesampaian juga. Pak Bit memanggilku dengan melambaikan tangannya, kataku “iya, Aku juga ingin ikut ke gresik” dengan bahasa tubuh pula.
Sebelum berangkat, ku ajak pak Ilham. Untuk menuju ke gresik harus menggunakan katinting karena harus menyeberang. Gresik itu merupakan sebuah pulau kecil yang berada di tengah-tengah sungai, hanya butuh beberapa langkah saja untuk dapat mengelilingi pulau itu.
“Ayo kembali?” tanya pak Bit kepada kami.
“Ayo” jawabku dengan semangat.
Kami pun kembali untuk sarapan dan melanjutkan aktivitas yang utama, yaitu nugal. Sebelum nugal, tak lupa berdoa agar dapat diberikan keberkahan berupa hasil panen yang melimpah.
Warga kampung yang siap membantu Bapak Kepala kampung untuk nugal, di bagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama bertugas sebagai pembuat lubang dengan menumbukkan tongkatnya ke tanah, sedangkan kelompok yang kedua mengikut dari belakang dengan cara mengisi lubang tersebut dengan bibit padi.
Kupersiapkan segala perlengkapan kamera untuk mendokumentasikan segala aktivitasku di ladang Bapak Kepala Kampung. Kuambil sebuah tongkat kayu yang biasa dipakai warga untuk nugal, Aku pun ikut serta dalam aktivitas tersebut.
Sebelum menumbukkan tongkat yang kupegang ini ke tanah yang subur itu, terlebih dahulu kami berbaris agar lubang yang dihasilkan dapat teratur. Saat itu, Aku kadang tertinggal di belakang, maklum masih pemula. Tapi, secara tidak sadar yang ada didekatku adalah Bapak Kepala Kampung yang ternyata menuntunku dan membantuku membuat lubang agar tidak tertinggal terlalu jauh dari barisan. Lubang hasil buatan kami diisi oleh ibu-ibu yang mengikut di belakang kami.
Berdatanganlah beberapa warga untuk membantu kami menyelesaikan tugalan di ladang Bapak kepala Kampung, termasuk para guru laki-laki dan satu orang guru perempuan. Kondisi Kampung pada saat itu sangat sepi karena hamper 100% warganya datang ke ladang bapak Kepala Kampung.
“Kalau di Bone nugal juga kah pak?” tanya seorang rekan guru yang pada saat itu berada di sampingku
“Tidak pak, di sana kan sawah, berbeda dengan yang ada di sini” jawabku sambil menugal.
Tangan ini sudah mulai merasa lelah, tumbukkan demi tumbukkan terkadang membuatnya bergetar dan serasa ingin istrahat di tenda. Namun, hanya dengan sedikit paksaan, akhirnya lebih kurang 4 jam bisa kami selesaikan tugalan itu.
Pengalaman ini adalah sebuah peristiwa bersejarah yang tak akan kulupakan dan menjadi pembelajaran baru buatku ketika pulang ke kampung halaman nanti bahwa setiap kebersamaan akan tercipta jalinan kasih dan persaudaraan yang akan mengikat satu dengan yang lainnya.




 Lesan Dayak, 15 Oktober 2015



Syamsul Adil, S.Pd

0 komentar:

Posting Komentar