Sebelum
masuk waktu mengajar, biasanya kami para guru duduk santai di teras kantor.
Tiba-tiba Mbak Citra Citra datang dengan sebuah undangan lisan.
“Perhatian…
Perhatian… Menyambung bahasa dari Ibu Kepala Kampung bahwa Bapak-Bapak dan
Ibu-Ibu sekalian diundang untuk hadir dalam kegiatan menugal besok pagi di
ladang Bapak Kepala Kampung, rencana sebentar sore kami sudah mulai berangkat
ke ladang sekaligus bermalam di sana. Demikian undangan ini, terima kasih”
Menugal
adalah salah satu rutinitas tahunan bagi warga Kampung Lesan Dayak dengan cara menumbukkan
sebuah tongkat runcing ke tanah hingga berlubang kemudian diisi dengan bibit
padi gunung dengan jumlah relatif berbeda, lebih kurang 5 biji bibit padi.
Biasanya mereka menugal diawal musim penghujan tepatnya pada awal bulan Oktober
hingga Novenmber.
Sepulang
dari sekolah, Aku dan Pak Ilham membantu Mbak Citra Citra mengambil kelapa di
belakang rumah yang ku tempati.
“Pak
Guru ikut bermalam di ladangnya Pak Kepala Kampung ya? Tanya Mbak Citra Citra
kepada kami.
“Iya
Mbak Citra, jam berapa nanti berangkatnya?” Jawab ku disertai sebuah petanyaan.
“Sekitaran
pukul 04.00 sore lah pak”
“iya
Mbak Citra, nanti Aku minta izin dengan rekan-rekan guru yang lain” .
Pembicaraan
itu berlangsung lama dan mulai meluas. Aku pun pamit pulang ke rumah untuk
makan siang karena selama pulang pulang sekolah, Aku belum pernah makan.
“Pak
Guru siap-siap ya? Nda lama lagi akan berangkat” Panggilan Mbak Citra Citra
sebelum Ia berangkat.
Aku
dan Pak Ilham mulai menyiapkan segala perlengkapan menginap dan menugal.
Sementara dalam persiapan, sebuah pertanyaan menari-nari di pikiranku
“bagaimana rasanya menugal ya? Sepertinya, aku sudah nda sabar ikut menugal di
ladangnya Pak Kepala Kampung.
Saat
itupun tiba. Kami berangkat ramai-ramai menggunakan katinting Pak Hasan. Beliau
merupakan seorang pendatang yang sudah berdomisili di Kampung Lesan dayak dan
juga merupakan operator kampung yang selalu menyalakan dan memadamkan mesin
listrik tiap malamnya.
Matahari
sudah mulai tenggelam di ujung barat dari ladang tempat kami bermalam, sebuah
pertanda bahwa malam akan menggantikan siang duduk di singgasananya dan juga
berarti bahwa waktu magrib telah tiba.
Setelah
mengambil air wudhu di sungai, kamipun beranjak ke tenda untuk melangsungkan
shalat magrib secara berjamaah. Pak Hasan yang menjadi Imam, Aku dan Pak Ilham
yang menjadi Makmumnya. Shalat magrib berlangsung dengan tenang meskipun
dikeramaian Ummat Nasrani. Saat itu, kami menjadi pusat perhatian sementara
bagi mereka. Sungguh pengalaman yang istimewa bagiku, sebuah toleransi beragama
dapat Aku pelajari dari kegiatan seperti ini.
“Ini
adalah kali pertama saya memperllihatkan diri shalat dihadapan mereka pak,
kalau sebelum-sebelumnya pak, saya selalu mencari tempat yang tertutup untuk
shalat” ungkap Pak Hasan sambil kami duduk di depan tenda.
Aku
hanya bisa diam dan mengangguk sembari melemparkan senyuman ke muka Pak Hasan.
Malam itu, kami saling membagi pengalaman dan terkadang kami tertawa dengan
selipan candaan.
Pembicaraan
itu sempat terhenti karena Pak Bit dan Pak Iwan datang dari berburu dengan
hasil buruan adalah seekor planduk. Setelah kuperhatian hasil buruannya, Aku
tersenyum dan dan berfikir bahwa pertanyaan yang selalu menggelitik di
pikiranku, sekarang sudah terjawab.
“ow…
Ternyata planduk itu adalah seekor kancil” ungkapku dengan senyuman dan
perasaan yang legah.
“iya
pak, bahasa disini adalah planduk, kalau bahasa Indonesianya adalah kancil”
respon salah seorang warga kampung yang menemani kami duduk di depan tenda.
Kuhampiri
buruan itu, sembari mengambil gambarnya dengan Handphone yang Aku punya dan bertanya kepada Iwan “berapa kali
tembakan lalu mati planduk ini?”.
“Banyak
kali pak, ini ada peluru yang tembus di rahangnya, ada juga yang tembus di
perutnya” Jawab Iwan sambil menunjuk semua bagian tubuh hewan yang kena
tembakan.
Setelah
itu, Aku kembali ke tempat duduk tadi bersama pak Hasan dan warga kampung
lainnya.
“Bagus
kekompakan di kampung ini pak ya? Setiap ada kegiatan nugal seperti ini, warga
kampung berbondong-bondong datang unutk membantu” tanyaku kepada pak Elisa,
beliau adalah bendahara kampung sekaligus menjabat sebagai kaur pemerintahan
Kampung Lesan Dayak.
“Iya
pak, beginilah kami setiap tahunnya” jawab pak Elisa.
“Adakah
adat atau kegiatan tertentu sebelum nugal pak?” kembali kulontarkan pertanyaan
kepada pak Elisa.
“Dulunya
sich ada pak membuat nasi lemang, tapi sekarang sudah jarang orang yang
melakukannya”.
“Ow”
kataku sambil menganggukkan kepala.
“Saat
ini kan sudah alat yang mempermudah kita, jadi tinggal dimasak aja”
Pembicaraan
kami makin lama makin asyik. Tiba-tiba turun hujan,. Dengan cepat kami gulung
tikar lalu masuk ke tenda. Sementara ibu-ibu yang tadinya masak juga harus
bergegas mengangkat perlengkapan masaknya masuk ke tenda.
Tenda
itulah yang menjadi pelindung kami selama berada di ladang Bapak Kepala
kampung. Lebih kuran sejam, hujan pun berhenti dan warga kampung kembali
beraktivitas seperti sedia kala, ibu-ibu kembali memasak, bapak-bapak kemabli
diskusi dengan tema yang tidak menentu.
Kulihat
jam tangan yang melingkar di tanganku, ternyata sudah pukul 02.30 dini hari.
“Waktunya istirahat, jangan sampai Aku begadang bisa-bisa ngantuk besoknya.
Tujuanku ke sini kan ingin membantu Bapak Kepala Kampung sekaligus menambah
pengalamanku” dalam hati Aku bergumam.
Pukul
04.30 dini hari kuterbangun dan tak bisa tidur lagi, segala persiapan untuk
shalat subuh pun ku lakukan mulai mengambil air wudhu sampai mendirikan shalat
subuh pukul 05.00. Satu persatu warga pun terbangun untuk menyiapkan segala
keperluan untuk nugal nanti termasuk sarapan kami.
Aku
pun memulai pagi dengan merenggangkan otot-ototku sambil berjalan santai
mengelilingi ladang Bapak Kepala Kampung yang sudah di bakar itu, luasnya lebih
kurang 2 hektar.
Mandi
di gresik adalah salah aktivitas yang ku tunggu selama di Kampung Lesan Dayak,
akhirnya kesampaian juga. Pak Bit memanggilku dengan melambaikan tangannya,
kataku “iya, Aku juga ingin ikut ke gresik” dengan bahasa tubuh pula.
Sebelum
berangkat, ku ajak pak Ilham. Untuk menuju ke gresik harus menggunakan
katinting karena harus menyeberang. Gresik itu merupakan sebuah pulau kecil
yang berada di tengah-tengah sungai, hanya butuh beberapa langkah saja untuk dapat
mengelilingi pulau itu.
“Ayo
kembali?” tanya pak Bit kepada kami.
“Ayo”
jawabku dengan semangat.
Kami
pun kembali untuk sarapan dan melanjutkan aktivitas yang utama, yaitu nugal.
Sebelum nugal, tak lupa berdoa agar dapat diberikan keberkahan berupa hasil
panen yang melimpah.
Warga
kampung yang siap membantu Bapak Kepala kampung untuk nugal, di bagi menjadi
dua kelompok. Kelompok pertama bertugas sebagai pembuat lubang dengan
menumbukkan tongkatnya ke tanah, sedangkan kelompok yang kedua mengikut dari belakang
dengan cara mengisi lubang tersebut dengan bibit padi.
Kupersiapkan
segala perlengkapan kamera untuk mendokumentasikan segala aktivitasku di ladang
Bapak Kepala Kampung. Kuambil sebuah tongkat kayu yang biasa dipakai warga
untuk nugal, Aku pun ikut serta dalam aktivitas tersebut.
Sebelum
menumbukkan tongkat yang kupegang ini ke tanah yang subur itu, terlebih dahulu
kami berbaris agar lubang yang dihasilkan dapat teratur. Saat itu, Aku kadang
tertinggal di belakang, maklum masih pemula. Tapi, secara tidak sadar yang ada
didekatku adalah Bapak Kepala Kampung yang ternyata menuntunku dan membantuku
membuat lubang agar tidak tertinggal terlalu jauh dari barisan. Lubang hasil
buatan kami diisi oleh ibu-ibu yang mengikut di belakang kami.
Berdatanganlah
beberapa warga untuk membantu kami menyelesaikan tugalan di ladang Bapak kepala
Kampung, termasuk para guru laki-laki dan satu orang guru perempuan. Kondisi
Kampung pada saat itu sangat sepi karena hamper 100% warganya datang ke ladang
bapak Kepala Kampung.
“Kalau
di Bone nugal juga kah pak?” tanya seorang rekan guru yang pada saat itu berada
di sampingku
“Tidak
pak, di sana kan sawah, berbeda dengan yang ada di sini” jawabku sambil
menugal.
Tangan
ini sudah mulai merasa lelah, tumbukkan demi tumbukkan terkadang membuatnya
bergetar dan serasa ingin istrahat di tenda. Namun, hanya dengan sedikit
paksaan, akhirnya lebih kurang 4 jam bisa kami selesaikan tugalan itu.
Pengalaman
ini adalah sebuah peristiwa bersejarah yang tak akan kulupakan dan menjadi
pembelajaran baru buatku ketika pulang ke kampung halaman nanti bahwa setiap
kebersamaan akan tercipta jalinan kasih dan persaudaraan yang akan mengikat
satu dengan yang lainnya.
Lesan Dayak, 15 Oktober 2015
Syamsul Adil, S.Pd
0 komentar:
Posting Komentar