Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Selasa, 28 Juni 2016

SECUIL ASA UNTUK PELOSOK NEGERI


Harapan pendidikan saat ini sangatlah penting demi membawa tunas-tunas bangsa ke masa di mana mereka mampu mandiri dan kreatif dalam mengelola dan menata negara dan dunia pada umumnya. Berangkat dari harapan itu, sebuah program Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia yang mencoba meraih harapan itu, sedikit demi sedikit pasti akan menjadi banyak, itulah sebuah pepatah klasik yang paling sering kita dengar dengan makna yang luar biasa jika di terapkan dalam dunia pendidikan.
Pendidikan sangatlah membutuhkan seseorang yang memiliki prinsip dan memegang teguh pepatah tersebut dan yakin bahwa sebuah pengabdian terhadap pendidikan sangatlah besar manfaatnya untuk meraih harapan pendidikan dan tujuan pendidikan nasional yang sesungguhnya.
Tantangan kita hari ini sangatlah hebat. Salah satunya adalah sosial media yang seharusnya membantu kita untuk mempermudah setiap aktivitas, kini menjadi sarana untuk merusak akhlak dan moral setiap peserta didik khususnya yang masih duduk di bangku sekolah.
Olehnya itu, para pelaku pendidikan khususnya mereka yang duduk di singgasana pendidikan tingkat pusat maupun daerah mencoba menjawab semua tantangan tersebut dengan menghadirkan sebuah program yakni Sarjana Mendidik di daerah Terdepan Terluar dan Tertinggal (SM-3T) di bawah payung program Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia.
Program ini telah memberikan dampak besar terhadap dunia pendidikan. Usianya yang kini menjelang tahun keenam telah menorehkan banyak perubahan di wilayah paradigma, karakter bahkan sampai kepada perbaikan mental anak didik bahkan masyarakat di daerah terpencil. Salah satu contohnya adalah masyarakat yang dulu menganggap bahwa sekolah hanya sebatas datang, duduk di bangku sekolah kemudian selesai begitu saja yang pada akhirnya ketika terjun di dunia kerja sulit mendapat pekerjaan. Kini telah berubah dengan adanya pemuda-pemuda dari daerah terpencil yang dapat sekolah hingga perguruan tinggi bahkan sampai keluar negeri.
Seratus tahun kemerdekaan Indonesia tinggal menunggu saatnya tiba, persiapan demi persiapan selalu direalisasikan. Maka dari itu program ini adalah solusi terbaik untuk menjawab setiap tantangan yang ada di negeri ini baik di daerah perkotaan maupun di daerah terpencil.
Salam Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia.
Berjuang atau pulang saja.

Berau, 25 Juni 2016

SYAMSUL ADIL, S.Pd
Guru SM-3T angk.V Kab. Berau


Sabtu, 25 Juni 2016

SELAMAT DATANG DI BUMI BATIWAKKAL


Pagi itu adalah pagi yang cerah di hari Kamis tepatnya tanggal 20 Agustus 2015, seakan memberikan motivasi perjuangan terhadapku menuju tempat pengabdianku di bumi Batiwakkal Kabupaten Berau Kalimantan Timur selama 12 purnama.
Kugapai tangan seorang perempuan yang selama ini mencurahkan semua kasih sayangnya terhadapku. Seorang perempuan yang tidak tidur demi memikirkan kesehatan dan keselamatan si buah hati, kuangkat perlahan tangannya dan kucium dengan kecupan manja yang mengingatkanku masa-masa kecilku dulu saat diriku masih dalam timangnya.
Senyuman rindu mengantarku hingga pagar rumah, lambaian tangan dan doanya selalu menyertaiku selama keberangkatanku hingga kembali pulang dengan membawa senyuman itu.
Awal kisahku baru di mulai. Lebih kurang pukul 13.00 waktu Dhuhur, kaki ini mulai meninggalkan kota Daeng menuju bumi Batiwakkal Kabupaten Berau Kalimantan Timur. Kota Balikpapan adalah saksi bahwa kami sempat menginjakkan kaki meskipun hanya sebentar.
Selamat datang di bumi Batiwakkal Kabupaten Berau Kalimantan Timur. 40 pendekar SM-3T secara perlahan menyentuh tanah Berau. Kami sampai di Kabupaten Berau sekitar pukul 19.20 malam.
Kabarku terhadap sang Umi tak pernah henti, kotak kecil pemberian Adikku menjadi pengantar kabar bahwa selama perjalanan, diriku baik-baik saja dan sekarang diri ini sudah berada di atas tanah Tanjung Redeb Kabupaten Berau.
Malam pertama di hotel Cantika Swara sekaligus menjadi malam pertama bagiku bermalam di hotel megah dan berkelas dengan pelayanan ekstra. Istimewa sekali tapi itu bukanlah mimpi kawan. Ini nyata.
Jumat pagi menuntun kami ke sebuah gedung formal untuk melangsungkan sebuah kegiatan. Sebuah pertemuan dengan tema penerimaan SM-3T angkatan ke-V bersama pihak pemerintah setempat sekaligus pelepasan SM-3T angkatan ke-IV.
Setelah ku lihat kertas putih dengan tanda tangan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten berau sebanyak tiga halaman itu, ternyata Aku sepenempatan dengan saudara Ilham Hasan. Latar belakangnya juga sama denganku yaitu berasal dari prodi PGSD, namun dari kampus yang berbeda. SDN 009 Kelay kampung Lesan Dayak adalah tempat pengabdian kami yang tertera di SK yang kami terima itu.
Matahari mulai meninggi seakan memberikan pesan bahwa hari ini akan cerah, jemputan pun sudah menunggu tepat di depan pintu hotel. Proses pendistribusianpun sementara berlangsung. Kesempatan untuk pamitan ke semua teman-teman pun tak sempat.
“Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh, kami berangkat dulu bang” sementara dalam mobil Aku pamit ke Koordinator Kabupaten malalui kotak kecil ajaib itu.
“Waaalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Ok, hati-hati cika’, oh iya di mana tersimpan pelampung?” jawabnya sekaligus bertanya.
“Di ruangan kaca depan” jawabku.
Ilham Hasan, Hamzah, Abdul Rachman, Susi Susanti, Asmi dan diriku sendiri duduk manis dalam satu kendaraan beroda empat berwarna putih menuju kecamatan Kelay. Selama tiga jam kami bersama di dalam kendaraan roda empat itu, barulah kemudian berpisah.
Aku dan Ilham Hasan yang pertama turun, tepatnya di dekat jembatan ibu kota kecamatan Kelay untuk melanjutkan perjalanan dengan menggunakan kendaraan tanpa roda. Mereka menyebutnya Katinting.
Kami dijemput oleh kepala sekolah dengan seorang guru PTT yang menemaninya sekaligus menjadi motoris kami menuju lokasi pengabdian kami. Tak lupa kami saling menyapa dan memperkenalkan diri. Kepsek kami bernama Yoseph Ngo Lasah dan guru yang bersamanya itu bernama Martinus.
Kami berempat dengan dua koper yang lumayan besar dan barang-barang lainnya, menjadi muatan dalam katinting itu. Sebuah pelampung berwarna orange segera dikenakan oleh rekan saya Ilham karena merupakan pengalaman pertama baginya naik katinting.
Kebetulan hari itu air sungai sedang surut, banyak bebatuan besar yang bermunculan. Sementara dalam perjalanan aku sempatkan untuk mendokumentasikan beberapa momen di atas katinting, tiba-tiba katinting yang kami tumpangi menabrak sebuah batu besar yang tak terlihat, semua penumpang termasuk Aku terkaget di buatnya.
“Duaarrr…. Brukkk”
Rasa takut, gemetar, kaget, semuanya bercampur aduk, itulah yang dialami oleh teman sepenempatanku karena baru pertama kali naik katinting.
Memasuki waktu Ashar, kami pun sampai di salah satu kampung di tengah hutan yang menjadi lokasi pengabdian kami yaitu Kampung Lesan dayak kecamatan Kelay Kabupaten Berau.
Suasana hening menyambut kedatangan kami, tanpa ada suara kendaraan beroda empat maupun beroda dua, segala kebisingan kota luput dari telinga kami. Langkah demi langkah membawaku masuk ke Kampung Lesan Dayak. Kepala sekolah menuntun kami secara perlahan menuju sebuah rumah tempat kami bernaung selama pengabdian kami.
“Assalamu alaikum” salam seorang warga kampung kepada kami.
“Waalaikumussalam” jawabku
“Ibu citra” warga tersebut memperkenalkan dirinya dengan sebuah senyuman manis sambil berjabat tangan denganku.
“Kalau Aku, Adil bu”
“Ibu citra itu juga seorang muslim pak” sahut kepala sekolah kami.
“Alhamdulillah” kata itu terucap dalam hati dengan perasaan yang senang, seakan diri ini bertemu dengan keluarga dekat setelah mendengar bahasa dari kepala sekolah.
Kampung Lesan Dayak ini merupakan kampung yang mayoritas penduduknya adalah ummat Nasrani dengan mata pencaharian berladang dan menangkap ikan di sungai. Di luar daripada ummat Nasrani, ada juga beberapa warga yang beragama Islam. Kedua agama ini hidup rukun dan saling menjaga satu sama lain dengan sebuah pondasi yang kokoh yaitu toleransi beragama yang dewasa.
Waktupun berjalan begitu cepat. Layaknya seorang tamu yang baik, sebelum masuk  ke rumahnya orang harus permisi dulu baru bisa masuk. Seperti itulah yang kami lakukan sewaktu tiba di tempat pengabdian kami. Malamnya kami berempat ke rumah Bapak Kepala Kampung untuk memperkenalkan diri sekaligus menjelaskan maksud dan tujuan kedatangan kami di Kampung Lesan Dayak ini. Pak Matias, itulah namanya, beliau juga menjelaskan kepada kami mengenai kondisi kampung.
Rumah ke dua yang kami datangi adalah rumah Bapak Kepala Adat. Setelah saling memperkenalkan diri, beliau kembali menjelaskan keadaan kampung dan program-program yang dicanangkan oleh kampung. Besar harapan Kepala Adat kepada kami agar kira dapat memberikan sumbangsih pemikiran demi memajukan kampung khususnya di wilayah pendidikan dan pemerintahan kampung secara umum.

                                                                                    Lesan Dayak, 17 April 2016



                                                                                    SYAMSUL ADIL, S.Pd

Selasa, 21 Juni 2016

BUKAN SEKADAR LASKAR PELANGI


Pagi itu adalah pagi pertama bagi kami di tanah dayak, ya… Sabtu tanggal 22 Agustus 2015, kami menyegerakan diri menuju sekolah tempat kami mengabdi yaitu SDN 009 Kelay, dengan penuh semangat dan kebanggan ketika mengenakan jas kebesaran SM-3T, Kami pun memperkenalkan diri dengan para guru yang berada di sekolah dengan menjelaskan maksud dan tujuan keberadaan SM-3T di Kampung Lesan dayak terkhusus di SDN 009 Kelay. setelah itu, Kepala Sekolah mulai menceritakan tentang kondisi sekolah hingga siswa yang ada hanya 7 orang saja.
Kami pun kaget dibuatnya, satu sekolah hanya dengan tujuh orang siswa saja. Sedangkan guru ada 11 orang. Perbandingan antara jumlah murid dengan guru tidak sepadan. Kepala sekolah pun mulai menjelaskan secara detail.
Awalnya, SDN 009 Kelay berdiri di kampung ini dan memiliki banyak siswa. Namun, ada beberapa faktor yang membuat mereka harus meninggalkan kampung ini menuju ke Belekay. Salah satu faktornya adalah kampung Belekay lebih dekat dengan perusahaan sawit. Sehingga dapat mempermudah warga kampung untuk bertahan secara ekonomi. Seiring berjalannya waktu kampung Lesan dayak mulai ditinggalkan karena tidak perubahan yang mereka dapat ketika bertahan di kampung ini, satu persatu warga mulai mendirikan rumah dan membuat kebun sendiri dengan cara membuka hutan menjadi lahan perkebunan.
Belekay adalah sebuah hutan yang tak jauh dari kampung Lesan Dayak dengan jarak tempuh lebih kurang 15 menit menggunakan Katinting (perahu yang diberi mesin), kampung ini masih berstatus Kampung Lesan dayak, nama Belekay sendiri adalah sebuah nama lokasi yang berada dalam wilayah kampung Lesan Dayak. Di sanalah lembaran baru sekaligus menjadi  kehidupan baru bagi warga kampung Lesan Dayak, segala fasilitas kampung mulai didirikan bahkan fasilitas pendidikan pun di didiriak agar anak-anak yang tadinya hampir putus sekolah tetap bisa mengenyam pendidikan meskipun sudah pindah.
Sebuah aturan baru saja dikeluarkan oleh pemerintah kabupaten tentang batas-batas wilayah di setiap kampung yang berada dalam lingkup kabupaten Berau. Secara sadar dan tanpa paksaan, ada beberapa warga kampung mulai meninggalkan Belekay termasuk kepala kampung dan kembali ke kampung lama di mana sebelumnya merupakan pemukiman nenek moyang mereka yakni kampung Lesan Dayak yang pernah mereka tinggalkan.
Karena sebuah konflik politik yang berkepanjangan membuat mereka terpecah menjadi dua kelompok, kelompok pertama adalah kelompok pro terhadap keputusan pemerintah kabupaten tentang adanya kejelasan akan batas-batas wilayah, jadi mereka lebih memilih untuk kembali ke kampung lama dan mendiri kembali rumah-rumah mereka yang sudah mulai di tenggelamkan oleh lebatnya hutan.
Kelompok kedua adalah kelompok yang kontra dengan kebijakan pemerintah dengan alasan bahwa secara adat, Belekay adalah wilayah kampung Lesan dayak bukan wilayah kampung sebelah yaitu kampung Muara Lesan karena menurut histori kampung, sebelum adanya warga kampung Muara Lesan, Muara Lesan adalah wilayah Lesan Dayak, namun seiring berjalan waktu wilayah Muara Lesan mulai didiami oleh beberapa pendatang yang pada akhirnya semakin lama semakin bertambah dan mendirikan sebuah kampung yang di beri nama kampung Muara Lesan.
Konflik ini sulit di hentikan karena masing-masing pendapat ada benarnya, bahkan sempat dibahas ditingkat kabupaten namun belum ada langkah yang berani untuk melerai konflik ini secara langsung. Meskipun konflik ini tidak pernah sampai kepada adu fisik tapi hal ini sangat dirasakan dampaknya oleh anak-anak karena ada yang ikut dengan orang tuanya pindah ke kampung lama Lesan Dayak dan adapula yang tetap tinggal di Belekay.
Salah satu inisiatif pemerintah kampung Lesan Dayak agar semuanya kembali pindah ke kampung baru Kampung Lesan Dayak, maka pemerintah kampung mendirikan rumah sehat di kampung Lesan Dayak diperuntukkan untuk satu kepala keluarga satu rumah sehat. Program ini diberikan secara cuma-cuma oleh pemerintah kabupaten Berau agar semua warga dapat hidup dengan tentram dan dapat mengelola pola hidup yang sehat.
Tentu sulit untuk dipahami ketika kondisi ini langsung dialami bagi para pendatang baru seperti kami berdua. Tetapi hal itu bukanlah menjadi halangan bagi kami untuk tetap mengabdi dan mendidik meskipun hanya satu tahun lamanya.
Oke kawan, mari kita lanjutkan ceritanya…
Kondisi sekolah tempat pengabdian kami terdiri dari 4 ruangan, satu ruang di ujung kanan gedung merupakan kantor, 3 ruangannya lainnya adalah kelas yang dirangkap untuk siswa belajar. Kelas I dan II di rangkap dalam satu ruangan yang berdampingan langsung dengan kantor, kelas III dan IV juga dirangkap dalam satu ruangan yang berdampingan langsung dengan kelas I dan II, selanjutnya kelas V dan VI juga seperti kelas lainnya, dirangkap dalam satu ruangan, tepatnya berada di posisi ujung kiri gedung sekolah. Empat ruang WC, dua ruangan untuk siswa dan dua ruangan lainnya untuk guru. Dengan sebuah tiang Bendera yang berdiri tegak tepat berada di depan sekolah.
Sebagai bukti nyata, kami disediakan satu ruangan untuk bertemu dan berkenalan dengan 7 siswa tersebut. Kami masuk ke ruangan tersebut dan memulai perkenalan, setelah itu kupersilahkan kepada mereka untuk memperkenalkan diri satu per satu. Agnes (Kelas VI), Mutia (kelas V), Fira (kelas III), Ayu dan Yolanda (kelas II), serta Hizkia dan Mershanda (Kelas I).
Setelah prosesi perkenalan dilalui, maka kami melanjutkan untuk bertanya tentang cita-citya yang mereka impikan ketika dewasa nanti. Ada yang ingin jadi bidan, polisi bahkan tentara. Aku pun kembali menanyakan tentang cara meraih impian itu, secara serentak mereka menjawab “Belajar Pak Guru”, diriku langsung merasa bangga karena di perkenankan untuk mengenal mereka. Semangat dan antusiasme mereka sangatlah penting untuk menata masa depan mereka sejak dini dan itu harus tetap berkobar hingga cita-cita yang mereka impikan dapat tercapai. Aamiin yaa rabbal aalamin.
Satu hal lagi yang membuatku merasa iri sekaligus bercampur dengan rasa bangga adalah mereka bercita-cita ingin kembali ke kampung halaman unntuk mengabdikan diri membangun kampung dan membantu warga agar menjadi masyarakat yang sejahtera. Salah satu contohnya adalah ketika kutanya salah seorang siswa bernama Yolanda “apa yang akan kamu lakukan ketika kelak kamu menjadi bidan?”, langsung sebuah kalimat terlontar dari gadis polos ini “Aku akan membantu ibu-ibu yang akan melahirkan, kasian mereka karena harus ke kecamatan atau ke kota, kalau ada bidan di kampung berarti dapat memudahkan ibu-ibu yang ingin melahirkan”.
Sungguh luar biasa niat mereka, impian yang mereka harapkan sejak kecil harus dibantu dengan merespon setiap aktivitas mereka disetiap hari sekaligus membimbing mereka agar impian itu bukan sekadar impian saja.

Olehnya itu kumulai berfikir dan bterdiam sejenak meskipun hanya ada 7 orang siswa saja, tidak akan mengurung atau membatasi niatku bersama teman seperjuanganku untuk mendidik mereka, untuk itu kumulai membulatkan tekad bahwa mendidik tujuh orang siswa ibarat melatih tujuh orang pendekar di sebuah padepokan yang di sekelilingnya hanya ada hutan belantara dan hewan-hewan buas dengan mempersiapkan segala bekal sebelum turun gunung meraih cita-cita yang diimpikan.

CELOTEH AYU



Siang itu, matahari seakan membakar bumi ini, maka Aku keluar dari dalam rumah hendak duduk di teras belakang rumah, Aku melihat seorang gadis kecil sedang bermain dengan sepeda mungilnya yang berwarna merah jambu, kumencoba memperhatikan dengan seksama, ternyata gadis kecil ini langsung menyapaku seakan diriku telah akrab lama dengannya.
“Pak Guru…, Pak Guru…, teriaknya yang dibarengi senyuman manisnya. Aku mencoba menegurnya agar dia mau berteduh atau mencari tempat yang tidak terkena langsung oleh cahaya matahari.
Tak lama kumudian gadis kecil ini pun berpindah tempat dengan sigapnya menuju ke dermaga bersama dengan sepupunya yang masih balita dan seorang teman untuk bermain di dermaga. Sesekali kuperhatikan, serasa ingin ikut bermain dengan mereka di dermaga. Kupasang bajuku dengan cepat lalu turun dari rumah dengan membawa buku menuju ke dermaga. Sampai di dermaga, lagi-lagi aku disapanya.
Gadis kecil itu bernama Ayu, Ia kelas II SDN 009 Kelay tepatnya di kampung Lesan Dayak. Selang beberapa saat Aku duduk di dermaga, si Ayu pun dipanggil untuk membawa pulang sepupunya yang masih balita itu. Dalam hati Aku kecewa karena baru sampai di dermaga, Ayu dipanggil pulang ke rumah.
Sementara kubaca buku yang ku bawa tadi, si Ayu pun mencul dan kembali ke dermaga dengan membawa piring yang berisi garam, air dalam baskom dan sebuah pisau kecil.
“Pak Guru mencok kah?? Tanya Ayu yang baru-baru datang di dermaga bersama Maya.
“Apa artinyakah Ayu?” tanyaku dalam kebingungan. 
“Pak Guru mau makan mangga kah?” ucapnya sambil tertawa.
“Boleh Juga” jawabku.
Sambil Ayu dan Maya mencari mangga, Aku pun lanjut membaca buku. Sementara keasyikan membaca, Ayu bertanya lagi “Bagaimana cara mengambil mangga di atas itu pak Guru?”
“adakah penjolok disitu atau semacamnya?” jawabku yang semntara duduk di dermaga sambil memegang buku.
“Nda ada pak Guru, tapi kami biasanya melemparnya dengan kayu, tapi biarlah Aku cari mangga di sekitar sini, siapa tau ada yang sudah jatuh” sahutnya sambil mencari mangga di sekitar dermaga itu.
Tak lama mencarinya, Ayu dan Maya pun mendapatkan beberapa mangga, kemudian dibawa ke dermaga untuk dibersihkan lalu dikupas kulitnya, ternyata mangga yang ia dapat sudah matang.
“Pak Guru… coba liat sudah masak” Ayu kembali berbicara kepadaku yang sedang membaca buku.
Sementara mereka berdua makan mangga dan Aku membaca buku, terlontar sebuah pertanyaan dari Ayu “Pak Guru kok membaca? Buku apa itu?
Sambil tersenyum Aku pun menjawab “iyya, meskipun pak Guru sudah dewasa tetap harus belajar, bukan hanya kamu atau siswa yang lainnya saja yang harus belajar tapi pak guru juga”.
Aku pun berhenti sejenak sambil memperhatikan anak ini dan melanjutkan kembali menjawab pertanyaan Ayu “Buku ini adalah buku bacaan yang pak guru beli waktu ke tanjung”.
Ayu pun mengangguk dan melanjutkan makan mangga bersama Maya, sementara makan mangga, Ayu mengajariku berbahasa dayak. Kututup buku ku dan mencoba memperhatikan gadis kecil ini berbicara.
“Kalau satu apa bahasa dayaknya?” tanyaku dengan rasa ingin tahu yang tinggi.
“Eci pak guru,” Jawab Ayu secara langsung .
“Kalau dua, tiga, empat sampai sepuluh?”
“Eci’, ege’, eklau, epeat, eme’, enam, ecu’, eje’, jeptin, eswang” Jawab Ayu dengan penuh semangat.
Aku pun mencoba mengulanginya sampai Aku benar-benar memahaminya. Namun, setiap Aku mengulanginya pasti ada yang salah, Ayu dan Maya pun tertawa dan kembali membenarkan yang salah.
Ternyata belajar Bahasa Dayak tak semudah membalikkan telapak tangan, harus mengulang-ulanginya dengan penuh kesabaran.
“Oh iyya… besok pak guru mengajar di kelas II ya…?? soalnya kalau pak guru menjelaskan, kami mudah paham tapi kalau wali kelas kami yang menjelaskan selalunya diulang-ulang terus pelajarannya, terkadang kami bosan”. Tanya Ayu dengan penuh harapan.
“Kamu nda boleh bosan belajar karena yang namanya belajar memang harus diulang-ulang supaya kamu dan teman-temanmu mudah paham, ibarat kamu sedang belajar bersepeda, awalnya kamu belum tahu cara menggunakan sepeda kan?”
“Iyya” jawabnya dengan menganggukkan kepalanya dan menyadari bahwa ia salah menanggapi wali kelasnya.
Akupun melanjutkan memberikan motivasi “agar dapat menggunakan sepeda dengan baik dan benar tentunya harus belajar, caranya belajarnya ya harus mengulang-ulangi agar cepat lancar”.
“Iyya pak guru” lagi-lagi ayu menganggukkan kepalanya.
Dua hari kemuadian di jam yang hampir sama, Kami kembali bertemu di dermaga.
“Pak guru… Pak guru… besok masuk mengajar di kelas II ya?? Ayu kembali melemparkan harapan kepadaku.
“Besok pak guru mau ke jembatan, kebetulan ada rapat bersama kepala sekolah dan guru-guru dari sekolah lain” Jawabku,
Jembatan adalah sebuah istilah agar mudah dipahami oleh warga Kampung Lesan Dayak. Selain mudah diucapkan, jembatan juga merupakan tempat persinggahakan mereka ketika berangkat ke kecamatan dengan menggunakan katinting. biasanya perahu katinting mereka di ikat di bawah jembatan kemudian mereka naik ke atas.
“Pak guru… Pak guru… tahu kah nama panjangku?? Ayu kembali bertanya.
“Siapa ya…? Sahutku dengan melemparkan senyuman sekaligus kebingungan karena lupa nama lengkapnya.
“Ayo siapa… ayo siapa… ayo siapa?? Mengucapkannya sambil bernyanyi dan tertawa tanpa henti.
Aku mencoba menjawabnya namun tetap salah. Tingkahku mulai kebingungan dan kutanyakan langsung ke Ayu “Jadi siapa nama panjangnya?”.
“Ayu Kauilung Rena Putri” jawabnya sambil menatapku dengan senyuman manisnya.
Sedang bercanda bersama-sama, suara teriakan muncul, ternyata Maya yang teriak, meneriaki seseorang yang baru saja sampai dari nugal. Mendengar Maya teriak, langsung Ayu merespon dengan teguran.
“Kau tau tidak kalau meneriaki orang yang lebih tua dari kita itu dosa?”
“iyya Aku tahu” Maya pun bersuara dengan suara kecilnya.
Aku hanya diam memperhatikan Ayu menegur Maya. Sebuah perjumpaan yang istimewa bisa mengenal sigadis kecil yang penuh dengan pertanyaan dan rasa ingin tahu yang tinggi terhadap sesuatu. Seorang anak yang memiliki kepribadian berbeda dengan teman-temannya. Ia mampu menyesuaikan diri dengan tempat di mana Ia berada. Hal seperti ini sangatlah jarang kita jumpai di luar sana.