Bersamaan
dengan kubuka pintu pagi, angin segar menghembus masuk bagai memberi kabar
semangat untuk beraktivitas. Melihat rerumputan yang belum sempat kupotong
dihalaman rumah yang begitu segar dengan kehijauannya mengundangku untuk turut
menyambut pagi dengan semangat.
Kumulai
aktivitasku dengan menyegerakan diri ke sekolah, tak sabar rasanya ingin
berjumpa kembali dengan siswa-siswiku. Jarak rumah ke sekolah tempat
pengabdianku tidak begitu jauh, kalau Aku berdiri di teras rumah, sekolah
tersebut terlihat dengan jelas, jadi hanya membutuhkan beberapa langkah saja
untuk sampai kesana.
Hari
itu adalah hari senin, hari di mana seharusnya semua civitas dalam sekolah itu melakukan upacara bendera selayaknya
sekolah lain. Namun, aktivitas tersebut tidak terlaksana karena jumlah siswa
hanya ada tujuh orang saja. Untuk pelaku atau pelaksana upacara saja tidak
cukup apalagi jika ingin melaksanakan aktivitas tersebut.
Sesampaiku
di sekolah, kusuruh beberapa siswa untuk mengambil bendera untuk memasangnya.
Ternyata yang datang membawa bendera adalah siswa kelas satu dan dua.
“Kami
aja yang pasang pak yaaa??” ucap salah seorang siswa dengan penuh semangat dan
rasa ingin tahu tentang pemasangan bendera.
Perlahan
Aku ajari mereka cara pemasangan bendera. Jadi, kupilih tiga orang diantara
mereka sementara yang lain memperhatikan penjelasanku.
“Ayu
sebagai pembawa bendera yang berada di tengah, Yolan bertugas sebagai pemasang
bendera yang berdiri di sebelah kiri Ayu dan Achan berada di sebelah kanan Ayu
sebagai penggerek bendera sampai ke puncak tiang” ucapku sambil menunjuk mereka.
Setelah
pemasangan bendera, kugiring mereka menuju ke kelas untuk belajar. Ruangan yang
ada di sekolah tersebut hanya ada tiga ruangan untuk belajar. Untuk kelas satu
dan dua dirangkap dalam satu ruangan, kelas tiga dengan empat juga dirangkap
dalam satu ruangan dan kelas lima dengan enam dalam satu ruangan pula. Pagi itu
Aku mengajar di kelas satu dan dua.
Saat
masuk di kelas, ada tiga orang anak yang duduk bersama siswa-siswa lain, yang
satunya dengan pakaian biasa dan dua anak lainnya memakai seragam serta peralatan
belajar yang lengkap. Anak tersebut belum tercatat sebagai siswa di sekolah
tersebut. Mereka juga ingin belajar seperti siswa yang lain. Jadi, tetap kubiarkan
mereka berada di dalam kelas.
“Sebelum
kita belajar, siapa yang ingin memimpin doa?” kumulai pelajaran dengan bertanya
kepada mereka.
“Aku
pak” jawab Ayu dengan semangat.
“Baiklah,
Ayu yang memimpin doa”.
Dalam
proses berdoa, Ayu bermain-main memimpin mereka dan membuat siswa-siswa lainnya
tertawa.
“Kalau
berdoa, kita tidak boleh bermain-main karena ketika kita bermain-main maka
Tuhan tidak akan mendengar doa kita, ayo ulangi lagi” tegurku dengan lumbut
kepada ayu.
“iya
pak” jawab ayu.
Namun,
teguranku bagai angin lewat buat Ayu. kesalahan tersebut kembali diulanginya, Aku
pun kembali menegurnya.
“Doa
itu bukan sebuah permainan, akan tetapi merupakan kesungguhan dalam meminta kepada
Tuhan supaya kita diberi kepintaran dalam belajar”
Semuanya
terdiam begitupun dengan Ayu, mungkin perkataanku membuat mereka sadar betapa
pentingnya sebuah doa. Proses berdoapun kembali diulangi, dan ternyata semuanya
tenang dan damai dalam berdoa hingga selesai proses berdoa. Ayu pun kembali
duduk.
“Sebelum
kita belajar mari kita bernyanyi bersama-sama supaya pada saat belajar nanti
kita merasa semangat, Semua mau bernyanyi?” tanyaku dengan semangat.
“Mau
pak” jawab mereka dengan semangat pula.
“kalau kau suka hati tepuk tangan…..”
“kalau
kau suka hati tepuk tangan…..”
“kalau
kau suka hati mari kita lakukan, kalau kau suka hati tepuk tangan…..dst”
Berulang
kali kami nyanyikan dengan penuh semangat dan keceriaan. Setelah bernyanyi, Aku
pun memulai aktivitas belajar dengan menuliskan sebuah kalimat di papan tulis
yang kemudian kami baca bersama-sama.
“Belajar
adalah tugasku” tiga kata itulah yang menjadi objek pelajaran pada pagi itu.
Mereka pun mulai mencatat.
“Pak
guru… Aku mau catat sampai tujuh kali yah?” Tanya Ayu dengan semangatnya.
“iya
boleh” jawabku
“Pak
guru… Aku mau catat sampai delapan kali yah?” Tanya Yolan tak mau kalah.
“Kalau
Aku sampai sebelas kali pak yah?” Achan pun tak mau kalah.
“Sungguh
luar biasa mereka, dengan penuh semangat ingin belajar” gumamku dalam hati.
Setelah
menulis, mereka kutuntun membaca satu persatu di mejanya. Kemudian kami membaca
tulisan di papan tulis secara bersama-sama. Kujelaskan makna tulisan tersebut
kepeda mereka.
“Pak
guru… pada saat hujan kemarin, hanya Aku yang belajar, yang lainnya tidak” Ayu
langsung merespon penjelasanku.
“Kemarin
kan gelap karena hujan, makanya kami tidak belajar” sontak Windi menyahut.
“Belajar
itu adalah kewajiban kita semua, kapan dan di manapun kita harus belajar,
artinya hujan maupun tidak hujan kita harus belajar. Paham semua? Jelasku
dengan serius.
“iya
pak” jawab mereka.
Tak
terasa waktu berjalan begitu cepat. Waktu istirahat pun telah tiba hingga
akhirnya masuk kembali belajar dan pulang. Yang memimpin doa kala itu bukan
lagi Ayu namun Yolan.
“Duduk
siap gerak,
Sebelum
kita pulang mari kita berdoa, berdoa dimulai
Selesai,
aamiin”
Setelah
proses berdoa, mereka berlomba-lomba ke depan untuk bersalaman denganku. Namun
Aku sempat menegur mereka agar mereka dapat berbaris dengan rapi kemudian maju
satu persatu untuk bersalama. Merekapun langsung turut dengan perintahku.
“Pak
guru, bolehkah Aku pinjam buku untuk belajar nanti di rumah? Pinta ayu sebelum
pulang.
“Aku
juga pak guru ya?” yolan juga menyahut
“Iya
boleh asalkan di pelajari baik-baik di rumahnya, jangan sampai hanya dipinjam
tapi tidak pernah digunakan, Dan ingat juga, kalau meminjam buku itu harus
dirawat baik-baik” Jawabku sambil tersenyum kepada mereka.
“Baik
pak” jawab mereka dengan senyuman pula.
0 komentar:
Posting Komentar