Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Selasa, 21 Juni 2016

BUKAN SEKADAR LASKAR PELANGI


Pagi itu adalah pagi pertama bagi kami di tanah dayak, ya… Sabtu tanggal 22 Agustus 2015, kami menyegerakan diri menuju sekolah tempat kami mengabdi yaitu SDN 009 Kelay, dengan penuh semangat dan kebanggan ketika mengenakan jas kebesaran SM-3T, Kami pun memperkenalkan diri dengan para guru yang berada di sekolah dengan menjelaskan maksud dan tujuan keberadaan SM-3T di Kampung Lesan dayak terkhusus di SDN 009 Kelay. setelah itu, Kepala Sekolah mulai menceritakan tentang kondisi sekolah hingga siswa yang ada hanya 7 orang saja.
Kami pun kaget dibuatnya, satu sekolah hanya dengan tujuh orang siswa saja. Sedangkan guru ada 11 orang. Perbandingan antara jumlah murid dengan guru tidak sepadan. Kepala sekolah pun mulai menjelaskan secara detail.
Awalnya, SDN 009 Kelay berdiri di kampung ini dan memiliki banyak siswa. Namun, ada beberapa faktor yang membuat mereka harus meninggalkan kampung ini menuju ke Belekay. Salah satu faktornya adalah kampung Belekay lebih dekat dengan perusahaan sawit. Sehingga dapat mempermudah warga kampung untuk bertahan secara ekonomi. Seiring berjalannya waktu kampung Lesan dayak mulai ditinggalkan karena tidak perubahan yang mereka dapat ketika bertahan di kampung ini, satu persatu warga mulai mendirikan rumah dan membuat kebun sendiri dengan cara membuka hutan menjadi lahan perkebunan.
Belekay adalah sebuah hutan yang tak jauh dari kampung Lesan Dayak dengan jarak tempuh lebih kurang 15 menit menggunakan Katinting (perahu yang diberi mesin), kampung ini masih berstatus Kampung Lesan dayak, nama Belekay sendiri adalah sebuah nama lokasi yang berada dalam wilayah kampung Lesan Dayak. Di sanalah lembaran baru sekaligus menjadi  kehidupan baru bagi warga kampung Lesan Dayak, segala fasilitas kampung mulai didirikan bahkan fasilitas pendidikan pun di didiriak agar anak-anak yang tadinya hampir putus sekolah tetap bisa mengenyam pendidikan meskipun sudah pindah.
Sebuah aturan baru saja dikeluarkan oleh pemerintah kabupaten tentang batas-batas wilayah di setiap kampung yang berada dalam lingkup kabupaten Berau. Secara sadar dan tanpa paksaan, ada beberapa warga kampung mulai meninggalkan Belekay termasuk kepala kampung dan kembali ke kampung lama di mana sebelumnya merupakan pemukiman nenek moyang mereka yakni kampung Lesan Dayak yang pernah mereka tinggalkan.
Karena sebuah konflik politik yang berkepanjangan membuat mereka terpecah menjadi dua kelompok, kelompok pertama adalah kelompok pro terhadap keputusan pemerintah kabupaten tentang adanya kejelasan akan batas-batas wilayah, jadi mereka lebih memilih untuk kembali ke kampung lama dan mendiri kembali rumah-rumah mereka yang sudah mulai di tenggelamkan oleh lebatnya hutan.
Kelompok kedua adalah kelompok yang kontra dengan kebijakan pemerintah dengan alasan bahwa secara adat, Belekay adalah wilayah kampung Lesan dayak bukan wilayah kampung sebelah yaitu kampung Muara Lesan karena menurut histori kampung, sebelum adanya warga kampung Muara Lesan, Muara Lesan adalah wilayah Lesan Dayak, namun seiring berjalan waktu wilayah Muara Lesan mulai didiami oleh beberapa pendatang yang pada akhirnya semakin lama semakin bertambah dan mendirikan sebuah kampung yang di beri nama kampung Muara Lesan.
Konflik ini sulit di hentikan karena masing-masing pendapat ada benarnya, bahkan sempat dibahas ditingkat kabupaten namun belum ada langkah yang berani untuk melerai konflik ini secara langsung. Meskipun konflik ini tidak pernah sampai kepada adu fisik tapi hal ini sangat dirasakan dampaknya oleh anak-anak karena ada yang ikut dengan orang tuanya pindah ke kampung lama Lesan Dayak dan adapula yang tetap tinggal di Belekay.
Salah satu inisiatif pemerintah kampung Lesan Dayak agar semuanya kembali pindah ke kampung baru Kampung Lesan Dayak, maka pemerintah kampung mendirikan rumah sehat di kampung Lesan Dayak diperuntukkan untuk satu kepala keluarga satu rumah sehat. Program ini diberikan secara cuma-cuma oleh pemerintah kabupaten Berau agar semua warga dapat hidup dengan tentram dan dapat mengelola pola hidup yang sehat.
Tentu sulit untuk dipahami ketika kondisi ini langsung dialami bagi para pendatang baru seperti kami berdua. Tetapi hal itu bukanlah menjadi halangan bagi kami untuk tetap mengabdi dan mendidik meskipun hanya satu tahun lamanya.
Oke kawan, mari kita lanjutkan ceritanya…
Kondisi sekolah tempat pengabdian kami terdiri dari 4 ruangan, satu ruang di ujung kanan gedung merupakan kantor, 3 ruangannya lainnya adalah kelas yang dirangkap untuk siswa belajar. Kelas I dan II di rangkap dalam satu ruangan yang berdampingan langsung dengan kantor, kelas III dan IV juga dirangkap dalam satu ruangan yang berdampingan langsung dengan kelas I dan II, selanjutnya kelas V dan VI juga seperti kelas lainnya, dirangkap dalam satu ruangan, tepatnya berada di posisi ujung kiri gedung sekolah. Empat ruang WC, dua ruangan untuk siswa dan dua ruangan lainnya untuk guru. Dengan sebuah tiang Bendera yang berdiri tegak tepat berada di depan sekolah.
Sebagai bukti nyata, kami disediakan satu ruangan untuk bertemu dan berkenalan dengan 7 siswa tersebut. Kami masuk ke ruangan tersebut dan memulai perkenalan, setelah itu kupersilahkan kepada mereka untuk memperkenalkan diri satu per satu. Agnes (Kelas VI), Mutia (kelas V), Fira (kelas III), Ayu dan Yolanda (kelas II), serta Hizkia dan Mershanda (Kelas I).
Setelah prosesi perkenalan dilalui, maka kami melanjutkan untuk bertanya tentang cita-citya yang mereka impikan ketika dewasa nanti. Ada yang ingin jadi bidan, polisi bahkan tentara. Aku pun kembali menanyakan tentang cara meraih impian itu, secara serentak mereka menjawab “Belajar Pak Guru”, diriku langsung merasa bangga karena di perkenankan untuk mengenal mereka. Semangat dan antusiasme mereka sangatlah penting untuk menata masa depan mereka sejak dini dan itu harus tetap berkobar hingga cita-cita yang mereka impikan dapat tercapai. Aamiin yaa rabbal aalamin.
Satu hal lagi yang membuatku merasa iri sekaligus bercampur dengan rasa bangga adalah mereka bercita-cita ingin kembali ke kampung halaman unntuk mengabdikan diri membangun kampung dan membantu warga agar menjadi masyarakat yang sejahtera. Salah satu contohnya adalah ketika kutanya salah seorang siswa bernama Yolanda “apa yang akan kamu lakukan ketika kelak kamu menjadi bidan?”, langsung sebuah kalimat terlontar dari gadis polos ini “Aku akan membantu ibu-ibu yang akan melahirkan, kasian mereka karena harus ke kecamatan atau ke kota, kalau ada bidan di kampung berarti dapat memudahkan ibu-ibu yang ingin melahirkan”.
Sungguh luar biasa niat mereka, impian yang mereka harapkan sejak kecil harus dibantu dengan merespon setiap aktivitas mereka disetiap hari sekaligus membimbing mereka agar impian itu bukan sekadar impian saja.

Olehnya itu kumulai berfikir dan bterdiam sejenak meskipun hanya ada 7 orang siswa saja, tidak akan mengurung atau membatasi niatku bersama teman seperjuanganku untuk mendidik mereka, untuk itu kumulai membulatkan tekad bahwa mendidik tujuh orang siswa ibarat melatih tujuh orang pendekar di sebuah padepokan yang di sekelilingnya hanya ada hutan belantara dan hewan-hewan buas dengan mempersiapkan segala bekal sebelum turun gunung meraih cita-cita yang diimpikan.

0 komentar:

Posting Komentar