Pagi
itu adalah pagi pertama bagi kami di tanah dayak, ya… Sabtu tanggal 22 Agustus
2015, kami menyegerakan diri menuju sekolah tempat kami mengabdi yaitu SDN 009
Kelay, dengan penuh semangat dan
kebanggan ketika mengenakan jas kebesaran SM-3T, Kami pun memperkenalkan diri
dengan para guru yang berada di sekolah dengan menjelaskan maksud dan tujuan
keberadaan SM-3T di Kampung Lesan dayak terkhusus di SDN 009 Kelay. setelah
itu, Kepala Sekolah mulai menceritakan tentang kondisi sekolah hingga siswa
yang ada hanya 7 orang saja.
Kami
pun kaget dibuatnya, satu sekolah hanya dengan tujuh orang siswa saja.
Sedangkan guru ada 11 orang. Perbandingan antara jumlah murid dengan guru tidak
sepadan. Kepala sekolah pun mulai menjelaskan secara detail.
Awalnya,
SDN 009 Kelay berdiri di kampung ini dan memiliki banyak siswa. Namun, ada
beberapa faktor yang membuat mereka harus meninggalkan kampung ini menuju ke
Belekay. Salah satu faktornya adalah kampung Belekay lebih dekat dengan
perusahaan sawit. Sehingga dapat mempermudah warga kampung untuk bertahan
secara ekonomi. Seiring berjalannya waktu kampung Lesan dayak mulai
ditinggalkan karena tidak perubahan yang mereka dapat ketika bertahan di
kampung ini, satu persatu warga mulai mendirikan rumah dan membuat kebun
sendiri dengan cara membuka hutan menjadi lahan perkebunan.
Belekay
adalah sebuah hutan yang tak jauh dari kampung Lesan Dayak dengan jarak tempuh
lebih kurang 15 menit menggunakan Katinting
(perahu yang diberi mesin), kampung ini masih berstatus Kampung Lesan dayak,
nama Belekay sendiri adalah sebuah nama lokasi yang berada dalam wilayah
kampung Lesan Dayak. Di sanalah lembaran baru sekaligus menjadi kehidupan baru bagi warga kampung Lesan
Dayak, segala fasilitas kampung mulai didirikan bahkan fasilitas pendidikan pun
di didiriak agar anak-anak yang tadinya hampir putus sekolah tetap bisa
mengenyam pendidikan meskipun sudah pindah.
Sebuah
aturan baru saja dikeluarkan oleh pemerintah kabupaten tentang batas-batas
wilayah di setiap kampung yang berada dalam lingkup kabupaten Berau. Secara
sadar dan tanpa paksaan, ada beberapa warga kampung mulai meninggalkan Belekay
termasuk kepala kampung dan kembali ke kampung lama di mana sebelumnya
merupakan pemukiman nenek moyang mereka yakni kampung Lesan Dayak yang pernah
mereka tinggalkan.
Karena
sebuah konflik politik yang berkepanjangan membuat mereka terpecah menjadi dua
kelompok, kelompok pertama adalah kelompok pro terhadap keputusan pemerintah
kabupaten tentang adanya kejelasan akan batas-batas wilayah, jadi mereka lebih
memilih untuk kembali ke kampung lama dan mendiri kembali rumah-rumah mereka
yang sudah mulai di tenggelamkan oleh lebatnya hutan.
Kelompok
kedua adalah kelompok yang kontra dengan kebijakan pemerintah dengan alasan bahwa
secara adat, Belekay adalah wilayah kampung Lesan dayak bukan wilayah kampung
sebelah yaitu kampung Muara Lesan karena menurut histori kampung, sebelum
adanya warga kampung Muara Lesan, Muara Lesan adalah wilayah Lesan Dayak, namun
seiring berjalan waktu wilayah Muara Lesan mulai didiami oleh beberapa
pendatang yang pada akhirnya semakin lama semakin bertambah dan mendirikan
sebuah kampung yang di beri nama kampung Muara Lesan.
Konflik
ini sulit di hentikan karena masing-masing pendapat ada benarnya, bahkan sempat
dibahas ditingkat kabupaten namun belum ada langkah yang berani untuk melerai
konflik ini secara langsung. Meskipun konflik ini tidak pernah sampai kepada
adu fisik tapi hal ini sangat dirasakan dampaknya oleh anak-anak karena ada
yang ikut dengan orang tuanya pindah ke kampung lama Lesan Dayak dan adapula
yang tetap tinggal di Belekay.
Salah
satu inisiatif pemerintah kampung Lesan Dayak agar semuanya kembali pindah ke
kampung baru Kampung Lesan Dayak, maka pemerintah kampung mendirikan rumah sehat
di kampung Lesan Dayak diperuntukkan untuk satu kepala keluarga satu rumah
sehat. Program ini diberikan secara cuma-cuma oleh pemerintah kabupaten Berau
agar semua warga dapat hidup dengan tentram dan dapat mengelola pola hidup yang
sehat.
Tentu
sulit untuk dipahami ketika kondisi ini langsung dialami bagi para pendatang
baru seperti kami berdua. Tetapi hal itu bukanlah menjadi halangan bagi kami
untuk tetap mengabdi dan mendidik meskipun hanya satu tahun lamanya.
Oke
kawan, mari kita lanjutkan ceritanya…
Kondisi
sekolah tempat pengabdian kami terdiri dari 4 ruangan, satu ruang di ujung
kanan gedung merupakan kantor, 3 ruangannya lainnya adalah kelas yang dirangkap
untuk siswa belajar. Kelas I dan II di rangkap dalam satu ruangan yang berdampingan
langsung dengan kantor, kelas III dan IV juga dirangkap dalam satu ruangan yang
berdampingan langsung dengan kelas I dan II, selanjutnya kelas V dan VI juga
seperti kelas lainnya, dirangkap dalam satu ruangan, tepatnya berada di posisi
ujung kiri gedung sekolah. Empat ruang WC, dua ruangan untuk siswa dan dua
ruangan lainnya untuk guru. Dengan sebuah tiang Bendera yang berdiri tegak
tepat berada di depan sekolah.
Sebagai
bukti nyata, kami disediakan satu ruangan untuk bertemu dan berkenalan dengan 7
siswa tersebut. Kami masuk ke ruangan tersebut dan memulai perkenalan, setelah
itu kupersilahkan kepada mereka untuk memperkenalkan diri satu per satu. Agnes
(Kelas VI), Mutia (kelas V), Fira (kelas III), Ayu dan Yolanda (kelas II),
serta Hizkia dan Mershanda (Kelas I).
Setelah
prosesi perkenalan dilalui, maka kami melanjutkan untuk bertanya tentang
cita-citya yang mereka impikan ketika dewasa nanti. Ada yang ingin jadi bidan,
polisi bahkan tentara. Aku pun kembali menanyakan tentang cara meraih impian
itu, secara serentak mereka menjawab “Belajar Pak Guru”, diriku langsung merasa
bangga karena di perkenankan untuk mengenal mereka. Semangat dan antusiasme
mereka sangatlah penting untuk menata masa depan mereka sejak dini dan itu
harus tetap berkobar hingga cita-cita yang mereka impikan dapat tercapai.
Aamiin yaa rabbal aalamin.
Satu
hal lagi yang membuatku merasa iri sekaligus bercampur dengan rasa bangga
adalah mereka bercita-cita ingin kembali ke kampung halaman unntuk mengabdikan
diri membangun kampung dan membantu warga agar menjadi masyarakat yang
sejahtera. Salah satu contohnya adalah ketika kutanya salah seorang siswa
bernama Yolanda “apa yang akan kamu lakukan ketika kelak kamu menjadi bidan?”,
langsung sebuah kalimat terlontar dari gadis polos ini “Aku akan membantu
ibu-ibu yang akan melahirkan, kasian mereka karena harus ke kecamatan atau ke
kota, kalau ada bidan di kampung berarti dapat memudahkan ibu-ibu yang ingin
melahirkan”.
Sungguh
luar biasa niat mereka, impian yang mereka harapkan sejak kecil harus dibantu
dengan merespon setiap aktivitas mereka disetiap hari sekaligus membimbing
mereka agar impian itu bukan sekadar impian saja.
Olehnya
itu kumulai berfikir dan bterdiam sejenak meskipun hanya ada 7 orang siswa
saja, tidak akan mengurung atau membatasi niatku bersama teman seperjuanganku
untuk mendidik mereka, untuk itu kumulai membulatkan tekad bahwa mendidik tujuh
orang siswa ibarat melatih tujuh orang pendekar di sebuah padepokan yang di
sekelilingnya hanya ada hutan belantara dan hewan-hewan buas dengan
mempersiapkan segala bekal sebelum turun gunung meraih cita-cita yang
diimpikan.
0 komentar:
Posting Komentar