Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Sabtu, 02 Juli 2016

IKAN NAIK RAJA



Lebih kurang dua bulan keberadaan di kampung ini, perasaan yang awalnya was-was akan setiap gerak-gerik yang timbul di antara warga sekitar, pikiran-pikiran yang selalu waspada, langkah kaki hanya berkeliaran di sekitaran rumah, serta pandangan yang selalu mengkerucut kepada setiap tamu yang datang.
Semua hilang dan sirna setelah salah seorang guru baru pulang dari kota. Saat itu di waktu pagi semua siswa berada di dalam kelasnya masing-masing. Namanya ibu Ludia, salah seorang guru yang hampir 30 puluh tahun mengabdi di dunia pendidikan di kampung ini. Ia berambut pendek layaknya seorang polwan yang cantik, kulit putih dengan tinggi lebih kurang 160 cm, bentuk tubuhnya sederhana, tidak gemuk tidak juga kurus. Cara berbicaranya agak cepat tapi beliau murah senyum, gerakannya masih lincah meskipun belliau sudah berumur sekitaran 50an tahunan.
Bahasanya selalu mengandung motivasi hidup ibarat seorang ibu kandung sendiri yang berbicara kepada anaknya dengan memberikan beberapa wejangan dan pegangan hidup agar kelak anak anaknya dapat pintar, sekolah yang tinggi, mencari pekerjaan yang baik hingga ketaraf pernikahan.
Hal yang membuatku lebih legah lagi meskipun hanya secara perasaan karena beliau juga termasuk orang seulawesi selatan. Orang toraja katanya. Meskipun dari kabupaten yang berbeda tetapi sedikit menambah ketenangan hati. “Sama-sama perantau perantau pastinya saling menjaga dan memperhatikan” itu sekelumit pemahaman yang kudapat dari berbagai perantau lainnya.
Sementara dalam keasyikan bercerita, datang salah seorang warga memanggil kami “ikan naik raja lagi”. Seribu pertanyaan mulai bermunculan dalam fikiran ini, seperti dalam film-film animasi hewan saja, jika di dalam hutan  singa adalah raja dari segala raja, baru kali ini aku mendengar istilah “ikan naik raja”.
“Ayo pak guru, ikutlah, kita pergi ambil ikan” ajakn ibu Ludia sambil melemparkan senyum kepadaku.
“iya bu…” jawabku yang masih dalam lingkaran kebingungan.
“ayo sini, nda usah malu-malu”
Aku pun ikut bersama Ibu Ludia yang di tangannya membawa sebuah kantong kresek hitam. “waww… luar biasanya banyaknya” perahu dipenuhi dengan ikan salap, pun demaga juga ikut dalam tumpukan ikan salap.
Salah satu kebiasaan warga di kampung ini dan juga sudah menjadi tradisi turun temurun yang tetap terjaga hingga sekarang adalah warga menangkap ikan yang sedang naik raja maka akan di bagikan secara cuma-cuma kepada semua warga.
Ikan naik raja merupakan masa di mana betina dewasa dan jantan dewasa ingin menggabungkan anatar sel telur yang dimiliki betina dengan sperma yang di miliki jantan biasanya di sebut Fertilisasi Eksternal (pembuahan di luar tubuh). Biasanya juga ikan-ikan ini mengepakkan tubuhnya di sekitaran gersik-gersik yang dangkal dan di tempat yang jernih. Jumlah mereka bahkan bisa mencapai ratusan hingga ribuan ekor. Tak salah kalau momen ini di katakana ikan naik raja.
Dengan sekali melemperkan jala, puluhan ekor ikan salap bisa di tarik ke perahu. Begitupula dengan lemparan kedua, ketiga dan seterusnya.
Banyak masyarakat yang mengatakan bahwa rasa ikan ikan ini terasa hambar karena hasil dari mengepakkan tubuhnya di tumpukkan batu-batu yang ada di pinggir sungai. Bagiku hambar atau tidaknya, berpulang lagi kepada kita bagaimana cara kita memasaknya. Sedikit sentuhan ala Sulawesi di bantu oleh teman seperjuanganku Ilham, ikan ini terasa nikmat kami rasakan tetes demi tetes keringat kami berjatuhan sebagai bukti bahwa betapa lahapnya kami menyantapnya meskipun dengan nasi putih tanpa sayur. Tetap cita rasanya ala restoran Makassar.




Lesan Dayak, 26 Maret 2016



Syamsul Adil, S.Pd

0 komentar:

Posting Komentar