Lebih
kurang dua bulan keberadaan di kampung ini, perasaan yang awalnya was-was akan
setiap gerak-gerik yang timbul di antara warga sekitar, pikiran-pikiran yang
selalu waspada, langkah kaki hanya berkeliaran di sekitaran rumah, serta pandangan
yang selalu mengkerucut kepada setiap tamu yang datang.
Semua
hilang dan sirna setelah salah seorang guru baru pulang dari kota. Saat itu di
waktu pagi semua siswa berada di dalam kelasnya masing-masing. Namanya ibu
Ludia, salah seorang guru yang hampir 30 puluh tahun mengabdi di dunia
pendidikan di kampung ini. Ia berambut pendek layaknya seorang polwan yang
cantik, kulit putih dengan tinggi lebih kurang 160 cm, bentuk tubuhnya
sederhana, tidak gemuk tidak juga kurus. Cara berbicaranya agak cepat tapi
beliau murah senyum, gerakannya masih lincah meskipun belliau sudah berumur
sekitaran 50an tahunan.
Bahasanya
selalu mengandung motivasi hidup ibarat seorang ibu kandung sendiri yang
berbicara kepada anaknya dengan memberikan beberapa wejangan dan pegangan hidup
agar kelak anak anaknya dapat pintar, sekolah yang tinggi, mencari pekerjaan
yang baik hingga ketaraf pernikahan.
Hal
yang membuatku lebih legah lagi meskipun hanya secara perasaan karena beliau
juga termasuk orang seulawesi selatan. Orang toraja katanya. Meskipun dari
kabupaten yang berbeda tetapi sedikit menambah ketenangan hati. “Sama-sama
perantau perantau pastinya saling menjaga dan memperhatikan” itu sekelumit
pemahaman yang kudapat dari berbagai perantau lainnya.
Sementara
dalam keasyikan bercerita, datang salah seorang warga memanggil kami “ikan naik
raja lagi”. Seribu pertanyaan mulai bermunculan dalam fikiran ini, seperti
dalam film-film animasi hewan saja, jika di dalam hutan singa adalah raja dari segala raja, baru kali
ini aku mendengar istilah “ikan naik raja”.
“Ayo
pak guru, ikutlah, kita pergi ambil ikan” ajakn ibu Ludia sambil melemparkan
senyum kepadaku.
“iya
bu…” jawabku yang masih dalam lingkaran kebingungan.
“ayo
sini, nda usah malu-malu”
Aku
pun ikut bersama Ibu Ludia yang di tangannya membawa sebuah kantong kresek
hitam. “waww… luar biasanya banyaknya” perahu dipenuhi dengan ikan salap, pun
demaga juga ikut dalam tumpukan ikan salap.
Salah
satu kebiasaan warga di kampung ini dan juga sudah menjadi tradisi turun
temurun yang tetap terjaga hingga sekarang adalah warga menangkap ikan yang
sedang naik raja maka akan di bagikan secara cuma-cuma kepada semua warga.
Ikan
naik raja merupakan masa di mana betina dewasa dan jantan dewasa ingin
menggabungkan anatar sel telur yang dimiliki betina dengan sperma yang di
miliki jantan biasanya di sebut Fertilisasi
Eksternal (pembuahan di luar tubuh). Biasanya juga ikan-ikan ini
mengepakkan tubuhnya di sekitaran gersik-gersik yang dangkal dan di tempat yang
jernih. Jumlah mereka bahkan bisa mencapai ratusan hingga ribuan ekor. Tak
salah kalau momen ini di katakana ikan naik raja.
Dengan
sekali melemperkan jala, puluhan ekor ikan salap bisa di tarik ke perahu.
Begitupula dengan lemparan kedua, ketiga dan seterusnya.
Banyak
masyarakat yang mengatakan bahwa rasa ikan ikan ini terasa hambar karena hasil
dari mengepakkan tubuhnya di tumpukkan batu-batu yang ada di pinggir sungai.
Bagiku hambar atau tidaknya, berpulang lagi kepada kita bagaimana cara kita
memasaknya. Sedikit sentuhan ala Sulawesi di bantu oleh teman seperjuanganku
Ilham, ikan ini terasa nikmat kami rasakan tetes demi tetes keringat kami
berjatuhan sebagai bukti bahwa betapa lahapnya kami menyantapnya meskipun
dengan nasi putih tanpa sayur. Tetap cita rasanya ala restoran Makassar.
Lesan Dayak, 26 Maret 2016
Syamsul Adil, S.Pd
0 komentar:
Posting Komentar