Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Sabtu, 02 Juli 2016

AJI DENGAN GELAR NAKALNYA



Aji adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Ia selalu datang ke sekolah guna melihat teman-temannya belajar, sesekali ia juga turut masuk ke kelas I, mungkin Ia ingin merasakan bagaimana rasanya ketika belajar dalam sebuah ruangan formal. Jika tiba giliranku mengajar di kelas I dan bertepatan dengan keberadaannya di ruangan tersebut, terkadang kulibatkan dalam proses belajar mengajar.
Banyak orang mengatakan bahwa Ia adalah anak yang nakal. Gelar tersebut selalu diberikan ketika Ia melakukan tindakan-tindakan sifatnya mengganggu. Bagiku, nakal adalah suatu sifat yang memang terkadang ada dalam diri seorang anak, namun kenakalan disetiap anak berbeda-beda. Kenakalan itu muncul ketika seorang anak tidak atau jarang mendapat perhatian dan penghargaan dari orang lain.
Melihat aktivitas anak ini yang hampir setiap harinya ke sekolah, membuatku tertarik untuk mendekatinya. Secara perlahan kudekati anak ini dengan mendatangi rumahnya bersama rekanku Ilham dan berbicara dengan orang tunya. Orang tuanya meminta kepada kami untuk mengajarinya mengaji bersama kakaknya dan kami pun menyanggupinya dengan perasaan yang senang.
Haripun berlalu hingga pada suatu ketika “Pak Adil… Pak Adil… Pak Adil…” teriak seorang anak dengan suara nyaringnya yang berdiri tegak tepat di depan rumah dinasku sembari menungguku hingga keluar.
“Pak Adil lagi tidur bu” ungkapnya kepada Ibunya.
“Assalamu ‘alaikumwarahmatullah, Assalamu ‘alaikumwarahmatullah” kumenoleh ke kanan dan kiri sebagai tanda bahwa shalat Ashar telah kutunaikan.
Aku pun bergegas keluar ke teras rumah hendak memanggil masuk sipemilik suara nyaring itu, sementara sejadah tempat sujudku masih terbentang lebar di atas tikar tepat dalam kamarku. Untung anak ini tidak pulang ke rumahnya, Ia hanya berpindah tempat beberapa langkah dari tempatnya berdiri saat memanggilku.
“Aji… ayo kesini” Panggilku ke Aji.
Aji pun datang bersama kakaknya yang bernama Fira dengan membawa buku Iqra’nya, Kakaknya Adalah salah satu siswaku di kelas III. Mereka datang ingin di ajar mengaji olehku. Kupersilahkan mereka naik ke rumah dan memberitahunya kalau tadi Aku shalat, makanya nda menjawab panggilan mereka.
Hari itu adalah kedua bagi Aji mengaji bersamaku, sedangkan kakaknya sudah sebulan sebelumnya mulai mengaji bersamaku.
Sebelum kami memulai mengaji, Tiba-tiba siswa-siswaku yang lain berdatangan untuk bimbel karena sebelumnya mereka sudah kupanggil datang ke rumah untuk bimbel. Kusuruh salah seorang diantara mereka untuk memanggil Pak Ilham untuk membimbing mereka.
Sementara Pak Ilham membimbing mereka. Aku, Aji dan Fira memulai pengajian dengan membaca doa bersama-sama agar diberi ilmu yang bermanfaat.
“Bagaimana doa sebelum belajar?” tanyaku kepada Aji dan Fira.
“Sidni” jawab Aji dengan senyumannya.
“Iya, Ayo kita mulai doanya” Aku pun membernarkan jawaban Aji dengan senyuman pula.
Kami pun berdoa bersama-sama, dan mulai mengaji dengan membaca basmalah. Saat itu, bacaan aji adalah “tsa, ja”. Sehari sebelumnya, yang di pelajari Aji adalah huruf “ a, ba, ta”. Sebelum Aji mengaji, kujelaskan dulu cara penyebutannya lalu Aji mengikutinya. Meskipun sudah kujelaskan, terkadang Aji lupa penyebutannya.
“Pak guru… Aku nda tau huruf apa ini?” tanya Aji penuh semangat.
“Itu huruf tsa, Aji” jawabku dengan menampakkan semangatku
Aji pun melanjutkan mengaji dan kembali bertanya “ Pak guru… apa ini?”
“ja” jawabku singkat.
Tidak lama setelah itu, Aji ingin pamit pulang dan kakaknya pun juga menyusul pamit untuk pulang karena mau ikut bimbel bersama teman-temannya. Akupun beranjak membantu Pak Ilham membimbing siswa dengan menangani siswa kelas I dan II.
Aji pun datang dengan sebuah buku tulis, pensil dan penghapus. Ternyata, Ia juga ingin ikut bimbel bersama teman-temannya.
“Pak guru… tuliskan Aku, nanti Aku ikuti” pintanya terhadapku yang sementara membimbing siswa menulis dan membaca.
“1, 2, 3, 4, 5, itu aja yang kamu ikuti Aji” perintahku terhadap aji setelah menuliskan di bukunya.
“Aku nda tau menulisnya Pak guru”
“Sini tangan Aji, Pak guru tuntun untuk menulis”

Proses bimbingan pun terjadi antara Aku, Aji dan siswa-siswaku yang lain. Melihat semangat dan rasa ingin tahu Aji membuatku kagum terhadapnya dan Aku berani berkesimpulan bahwa sebuah perhatian dan penghargaan terhadap seseorang mampu mengubah sebuah karakternua kearah positif.

IKAN NAIK RAJA



Lebih kurang dua bulan keberadaan di kampung ini, perasaan yang awalnya was-was akan setiap gerak-gerik yang timbul di antara warga sekitar, pikiran-pikiran yang selalu waspada, langkah kaki hanya berkeliaran di sekitaran rumah, serta pandangan yang selalu mengkerucut kepada setiap tamu yang datang.
Semua hilang dan sirna setelah salah seorang guru baru pulang dari kota. Saat itu di waktu pagi semua siswa berada di dalam kelasnya masing-masing. Namanya ibu Ludia, salah seorang guru yang hampir 30 puluh tahun mengabdi di dunia pendidikan di kampung ini. Ia berambut pendek layaknya seorang polwan yang cantik, kulit putih dengan tinggi lebih kurang 160 cm, bentuk tubuhnya sederhana, tidak gemuk tidak juga kurus. Cara berbicaranya agak cepat tapi beliau murah senyum, gerakannya masih lincah meskipun belliau sudah berumur sekitaran 50an tahunan.
Bahasanya selalu mengandung motivasi hidup ibarat seorang ibu kandung sendiri yang berbicara kepada anaknya dengan memberikan beberapa wejangan dan pegangan hidup agar kelak anak anaknya dapat pintar, sekolah yang tinggi, mencari pekerjaan yang baik hingga ketaraf pernikahan.
Hal yang membuatku lebih legah lagi meskipun hanya secara perasaan karena beliau juga termasuk orang seulawesi selatan. Orang toraja katanya. Meskipun dari kabupaten yang berbeda tetapi sedikit menambah ketenangan hati. “Sama-sama perantau perantau pastinya saling menjaga dan memperhatikan” itu sekelumit pemahaman yang kudapat dari berbagai perantau lainnya.
Sementara dalam keasyikan bercerita, datang salah seorang warga memanggil kami “ikan naik raja lagi”. Seribu pertanyaan mulai bermunculan dalam fikiran ini, seperti dalam film-film animasi hewan saja, jika di dalam hutan  singa adalah raja dari segala raja, baru kali ini aku mendengar istilah “ikan naik raja”.
“Ayo pak guru, ikutlah, kita pergi ambil ikan” ajakn ibu Ludia sambil melemparkan senyum kepadaku.
“iya bu…” jawabku yang masih dalam lingkaran kebingungan.
“ayo sini, nda usah malu-malu”
Aku pun ikut bersama Ibu Ludia yang di tangannya membawa sebuah kantong kresek hitam. “waww… luar biasanya banyaknya” perahu dipenuhi dengan ikan salap, pun demaga juga ikut dalam tumpukan ikan salap.
Salah satu kebiasaan warga di kampung ini dan juga sudah menjadi tradisi turun temurun yang tetap terjaga hingga sekarang adalah warga menangkap ikan yang sedang naik raja maka akan di bagikan secara cuma-cuma kepada semua warga.
Ikan naik raja merupakan masa di mana betina dewasa dan jantan dewasa ingin menggabungkan anatar sel telur yang dimiliki betina dengan sperma yang di miliki jantan biasanya di sebut Fertilisasi Eksternal (pembuahan di luar tubuh). Biasanya juga ikan-ikan ini mengepakkan tubuhnya di sekitaran gersik-gersik yang dangkal dan di tempat yang jernih. Jumlah mereka bahkan bisa mencapai ratusan hingga ribuan ekor. Tak salah kalau momen ini di katakana ikan naik raja.
Dengan sekali melemperkan jala, puluhan ekor ikan salap bisa di tarik ke perahu. Begitupula dengan lemparan kedua, ketiga dan seterusnya.
Banyak masyarakat yang mengatakan bahwa rasa ikan ikan ini terasa hambar karena hasil dari mengepakkan tubuhnya di tumpukkan batu-batu yang ada di pinggir sungai. Bagiku hambar atau tidaknya, berpulang lagi kepada kita bagaimana cara kita memasaknya. Sedikit sentuhan ala Sulawesi di bantu oleh teman seperjuanganku Ilham, ikan ini terasa nikmat kami rasakan tetes demi tetes keringat kami berjatuhan sebagai bukti bahwa betapa lahapnya kami menyantapnya meskipun dengan nasi putih tanpa sayur. Tetap cita rasanya ala restoran Makassar.




Lesan Dayak, 26 Maret 2016



Syamsul Adil, S.Pd

BELAJAR ADALAH TUGASKU



Bersamaan dengan kubuka pintu pagi, angin segar menghembus masuk bagai memberi kabar semangat untuk beraktivitas. Melihat rerumputan yang belum sempat kupotong dihalaman rumah yang begitu segar dengan kehijauannya mengundangku untuk turut menyambut pagi dengan semangat.
Kumulai aktivitasku dengan menyegerakan diri ke sekolah, tak sabar rasanya ingin berjumpa kembali dengan siswa-siswiku. Jarak rumah ke sekolah tempat pengabdianku tidak begitu jauh, kalau Aku berdiri di teras rumah, sekolah tersebut terlihat dengan jelas, jadi hanya membutuhkan beberapa langkah saja untuk sampai kesana.
Hari itu adalah hari senin, hari di mana seharusnya semua civitas dalam sekolah itu melakukan upacara bendera selayaknya sekolah lain. Namun, aktivitas tersebut tidak terlaksana karena jumlah siswa hanya ada tujuh orang saja. Untuk pelaku atau pelaksana upacara saja tidak cukup apalagi jika ingin melaksanakan aktivitas tersebut.
Sesampaiku di sekolah, kusuruh beberapa siswa untuk mengambil bendera untuk memasangnya. Ternyata yang datang membawa bendera adalah siswa kelas satu dan dua.
“Kami aja yang pasang pak yaaa??” ucap salah seorang siswa dengan penuh semangat dan rasa ingin tahu tentang pemasangan bendera.
Perlahan Aku ajari mereka cara pemasangan bendera. Jadi, kupilih tiga orang diantara mereka sementara yang lain memperhatikan penjelasanku.
“Ayu sebagai pembawa bendera yang berada di tengah, Yolan bertugas sebagai pemasang bendera yang berdiri di sebelah kiri Ayu dan Achan berada di sebelah kanan Ayu sebagai penggerek bendera sampai ke puncak tiang” ucapku sambil menunjuk mereka.
Setelah pemasangan bendera, kugiring mereka menuju ke kelas untuk belajar. Ruangan yang ada di sekolah tersebut hanya ada tiga ruangan untuk belajar. Untuk kelas satu dan dua dirangkap dalam satu ruangan, kelas tiga dengan empat juga dirangkap dalam satu ruangan dan kelas lima dengan enam dalam satu ruangan pula. Pagi itu Aku mengajar di kelas satu dan dua.
Saat masuk di kelas, ada tiga orang anak yang duduk bersama siswa-siswa lain, yang satunya dengan pakaian biasa dan dua anak lainnya memakai seragam serta peralatan belajar yang lengkap. Anak tersebut belum tercatat sebagai siswa di sekolah tersebut. Mereka juga ingin belajar seperti siswa yang lain. Jadi, tetap kubiarkan mereka berada di dalam kelas.
“Sebelum kita belajar, siapa yang ingin memimpin doa?” kumulai pelajaran dengan bertanya kepada mereka.
“Aku pak” jawab Ayu dengan semangat.
“Baiklah, Ayu yang memimpin doa”.
Dalam proses berdoa, Ayu bermain-main memimpin mereka dan membuat siswa-siswa lainnya tertawa.
“Kalau berdoa, kita tidak boleh bermain-main karena ketika kita bermain-main maka Tuhan tidak akan mendengar doa kita, ayo ulangi lagi” tegurku dengan lumbut kepada ayu.
“iya pak” jawab ayu.
Namun, teguranku bagai angin lewat buat Ayu. kesalahan tersebut kembali diulanginya, Aku pun kembali menegurnya.
“Doa itu bukan sebuah permainan, akan tetapi merupakan kesungguhan dalam meminta kepada Tuhan supaya kita diberi kepintaran dalam belajar”
Semuanya terdiam begitupun dengan Ayu, mungkin perkataanku membuat mereka sadar betapa pentingnya sebuah doa. Proses berdoapun kembali diulangi, dan ternyata semuanya tenang dan damai dalam berdoa hingga selesai proses berdoa. Ayu pun kembali duduk.
“Sebelum kita belajar mari kita bernyanyi bersama-sama supaya pada saat belajar nanti kita merasa semangat, Semua mau bernyanyi?” tanyaku dengan semangat.
“Mau pak” jawab mereka dengan semangat pula.
 “kalau kau suka hati tepuk tangan…..”
“kalau kau suka hati tepuk tangan…..”
“kalau kau suka hati mari kita lakukan, kalau kau suka hati tepuk tangan…..dst”
Berulang kali kami nyanyikan dengan penuh semangat dan keceriaan. Setelah bernyanyi, Aku pun memulai aktivitas belajar dengan menuliskan sebuah kalimat di papan tulis yang kemudian kami baca bersama-sama.
“Belajar adalah tugasku” tiga kata itulah yang menjadi objek pelajaran pada pagi itu. Mereka pun mulai mencatat.
“Pak guru… Aku mau catat sampai tujuh kali yah?” Tanya Ayu dengan semangatnya.
“iya boleh” jawabku
“Pak guru… Aku mau catat sampai delapan kali yah?” Tanya Yolan tak mau kalah.
“Kalau Aku sampai sebelas kali pak yah?” Achan pun tak mau kalah.
“Sungguh luar biasa mereka, dengan penuh semangat ingin belajar” gumamku dalam hati.
Setelah menulis, mereka kutuntun membaca satu persatu di mejanya. Kemudian kami membaca tulisan di papan tulis secara bersama-sama. Kujelaskan makna tulisan tersebut kepeda mereka.
“Pak guru… pada saat hujan kemarin, hanya Aku yang belajar, yang lainnya tidak” Ayu langsung merespon penjelasanku.
“Kemarin kan gelap karena hujan, makanya kami tidak belajar”  sontak Windi menyahut.
“Belajar itu adalah kewajiban kita semua, kapan dan di manapun kita harus belajar, artinya hujan maupun tidak hujan kita harus belajar. Paham semua? Jelasku dengan serius.
“iya pak” jawab mereka.
Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Waktu istirahat pun telah tiba hingga akhirnya masuk kembali belajar dan pulang. Yang memimpin doa kala itu bukan lagi Ayu namun Yolan.
“Duduk siap gerak,
Sebelum kita pulang mari kita berdoa, berdoa dimulai
Selesai, aamiin”
Setelah proses berdoa, mereka berlomba-lomba ke depan untuk bersalaman denganku. Namun Aku sempat menegur mereka agar mereka dapat berbaris dengan rapi kemudian maju satu persatu untuk bersalama. Merekapun langsung turut dengan perintahku.
“Pak guru, bolehkah Aku pinjam buku untuk belajar nanti di rumah? Pinta ayu sebelum pulang.
“Aku juga pak guru ya?” yolan juga menyahut
“Iya boleh asalkan di pelajari baik-baik di rumahnya, jangan sampai hanya dipinjam tapi tidak pernah digunakan, Dan ingat juga, kalau meminjam buku itu harus dirawat baik-baik” Jawabku sambil tersenyum kepada mereka.

“Baik pak” jawab mereka dengan senyuman pula.

NUGAL, TRADISI TAHUNAN



Sebelum masuk waktu mengajar, biasanya kami para guru duduk santai di teras kantor. Tiba-tiba Mbak Citra Citra datang dengan sebuah undangan lisan.
“Perhatian… Perhatian… Menyambung bahasa dari Ibu Kepala Kampung bahwa Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu sekalian diundang untuk hadir dalam kegiatan menugal besok pagi di ladang Bapak Kepala Kampung, rencana sebentar sore kami sudah mulai berangkat ke ladang sekaligus bermalam di sana. Demikian undangan ini, terima kasih”
Menugal adalah salah satu rutinitas tahunan bagi warga Kampung Lesan Dayak dengan cara menumbukkan sebuah tongkat runcing ke tanah hingga berlubang kemudian diisi dengan bibit padi gunung dengan jumlah relatif berbeda, lebih kurang 5 biji bibit padi. Biasanya mereka menugal diawal musim penghujan tepatnya pada awal bulan Oktober hingga Novenmber.
Sepulang dari sekolah, Aku dan Pak Ilham membantu Mbak Citra Citra mengambil kelapa di belakang rumah yang ku tempati.
“Pak Guru ikut bermalam di ladangnya Pak Kepala Kampung ya? Tanya Mbak Citra Citra kepada kami.
“Iya Mbak Citra, jam berapa nanti berangkatnya?” Jawab ku disertai sebuah petanyaan.
“Sekitaran pukul 04.00 sore lah pak”
“iya Mbak Citra, nanti Aku minta izin dengan rekan-rekan guru yang lain” .
Pembicaraan itu berlangsung lama dan mulai meluas. Aku pun pamit pulang ke rumah untuk makan siang karena selama pulang pulang sekolah, Aku belum pernah makan.
“Pak Guru siap-siap ya? Nda lama lagi akan berangkat” Panggilan Mbak Citra Citra sebelum Ia berangkat.
Aku dan Pak Ilham mulai menyiapkan segala perlengkapan menginap dan menugal. Sementara dalam persiapan, sebuah pertanyaan menari-nari di pikiranku “bagaimana rasanya menugal ya? Sepertinya, aku sudah nda sabar ikut menugal di ladangnya Pak Kepala Kampung.
Saat itupun tiba. Kami berangkat ramai-ramai menggunakan katinting Pak Hasan. Beliau merupakan seorang pendatang yang sudah berdomisili di Kampung Lesan dayak dan juga merupakan operator kampung yang selalu menyalakan dan memadamkan mesin listrik tiap malamnya.
Matahari sudah mulai tenggelam di ujung barat dari ladang tempat kami bermalam, sebuah pertanda bahwa malam akan menggantikan siang duduk di singgasananya dan juga berarti bahwa waktu magrib telah tiba.
Setelah mengambil air wudhu di sungai, kamipun beranjak ke tenda untuk melangsungkan shalat magrib secara berjamaah. Pak Hasan yang menjadi Imam, Aku dan Pak Ilham yang menjadi Makmumnya. Shalat magrib berlangsung dengan tenang meskipun dikeramaian Ummat Nasrani. Saat itu, kami menjadi pusat perhatian sementara bagi mereka. Sungguh pengalaman yang istimewa bagiku, sebuah toleransi beragama dapat Aku pelajari dari kegiatan seperti ini.
“Ini adalah kali pertama saya memperllihatkan diri shalat dihadapan mereka pak, kalau sebelum-sebelumnya pak, saya selalu mencari tempat yang tertutup untuk shalat” ungkap Pak Hasan sambil kami duduk di depan tenda.
Aku hanya bisa diam dan mengangguk sembari melemparkan senyuman ke muka Pak Hasan. Malam itu, kami saling membagi pengalaman dan terkadang kami tertawa dengan selipan candaan.
Pembicaraan itu sempat terhenti karena Pak Bit dan Pak Iwan datang dari berburu dengan hasil buruan adalah seekor planduk. Setelah kuperhatian hasil buruannya, Aku tersenyum dan dan berfikir bahwa pertanyaan yang selalu menggelitik di pikiranku, sekarang sudah terjawab.
“ow… Ternyata planduk itu adalah seekor kancil” ungkapku dengan senyuman dan perasaan yang legah.
“iya pak, bahasa disini adalah planduk, kalau bahasa Indonesianya adalah kancil” respon salah seorang warga kampung yang menemani kami duduk di depan tenda.
Kuhampiri buruan itu, sembari mengambil gambarnya dengan Handphone yang Aku punya dan bertanya kepada Iwan “berapa kali tembakan lalu mati planduk ini?”.
“Banyak kali pak, ini ada peluru yang tembus di rahangnya, ada juga yang tembus di perutnya” Jawab Iwan sambil menunjuk semua bagian tubuh hewan yang kena tembakan.
Setelah itu, Aku kembali ke tempat duduk tadi bersama pak Hasan dan warga kampung lainnya.
“Bagus kekompakan di kampung ini pak ya? Setiap ada kegiatan nugal seperti ini, warga kampung berbondong-bondong datang unutk membantu” tanyaku kepada pak Elisa, beliau adalah bendahara kampung sekaligus menjabat sebagai kaur pemerintahan Kampung Lesan Dayak.
“Iya pak, beginilah kami setiap tahunnya” jawab pak Elisa.
“Adakah adat atau kegiatan tertentu sebelum nugal pak?” kembali kulontarkan pertanyaan kepada pak Elisa.
“Dulunya sich ada pak membuat nasi lemang, tapi sekarang sudah jarang orang yang melakukannya”.
“Ow” kataku sambil menganggukkan kepala.
“Saat ini kan sudah alat yang mempermudah kita, jadi tinggal dimasak aja”
Pembicaraan kami makin lama makin asyik. Tiba-tiba turun hujan,. Dengan cepat kami gulung tikar lalu masuk ke tenda. Sementara ibu-ibu yang tadinya masak juga harus bergegas mengangkat perlengkapan masaknya masuk ke tenda.
Tenda itulah yang menjadi pelindung kami selama berada di ladang Bapak Kepala kampung. Lebih kuran sejam, hujan pun berhenti dan warga kampung kembali beraktivitas seperti sedia kala, ibu-ibu kembali memasak, bapak-bapak kemabli diskusi dengan tema yang tidak menentu.
Kulihat jam tangan yang melingkar di tanganku, ternyata sudah pukul 02.30 dini hari. “Waktunya istirahat, jangan sampai Aku begadang bisa-bisa ngantuk besoknya. Tujuanku ke sini kan ingin membantu Bapak Kepala Kampung sekaligus menambah pengalamanku” dalam hati Aku bergumam.
Pukul 04.30 dini hari kuterbangun dan tak bisa tidur lagi, segala persiapan untuk shalat subuh pun ku lakukan mulai mengambil air wudhu sampai mendirikan shalat subuh pukul 05.00. Satu persatu warga pun terbangun untuk menyiapkan segala keperluan untuk nugal nanti termasuk sarapan kami.
Aku pun memulai pagi dengan merenggangkan otot-ototku sambil berjalan santai mengelilingi ladang Bapak Kepala Kampung yang sudah di bakar itu, luasnya lebih kurang 2 hektar.
Mandi di gresik adalah salah aktivitas yang ku tunggu selama di Kampung Lesan Dayak, akhirnya kesampaian juga. Pak Bit memanggilku dengan melambaikan tangannya, kataku “iya, Aku juga ingin ikut ke gresik” dengan bahasa tubuh pula.
Sebelum berangkat, ku ajak pak Ilham. Untuk menuju ke gresik harus menggunakan katinting karena harus menyeberang. Gresik itu merupakan sebuah pulau kecil yang berada di tengah-tengah sungai, hanya butuh beberapa langkah saja untuk dapat mengelilingi pulau itu.
“Ayo kembali?” tanya pak Bit kepada kami.
“Ayo” jawabku dengan semangat.
Kami pun kembali untuk sarapan dan melanjutkan aktivitas yang utama, yaitu nugal. Sebelum nugal, tak lupa berdoa agar dapat diberikan keberkahan berupa hasil panen yang melimpah.
Warga kampung yang siap membantu Bapak Kepala kampung untuk nugal, di bagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama bertugas sebagai pembuat lubang dengan menumbukkan tongkatnya ke tanah, sedangkan kelompok yang kedua mengikut dari belakang dengan cara mengisi lubang tersebut dengan bibit padi.
Kupersiapkan segala perlengkapan kamera untuk mendokumentasikan segala aktivitasku di ladang Bapak Kepala Kampung. Kuambil sebuah tongkat kayu yang biasa dipakai warga untuk nugal, Aku pun ikut serta dalam aktivitas tersebut.
Sebelum menumbukkan tongkat yang kupegang ini ke tanah yang subur itu, terlebih dahulu kami berbaris agar lubang yang dihasilkan dapat teratur. Saat itu, Aku kadang tertinggal di belakang, maklum masih pemula. Tapi, secara tidak sadar yang ada didekatku adalah Bapak Kepala Kampung yang ternyata menuntunku dan membantuku membuat lubang agar tidak tertinggal terlalu jauh dari barisan. Lubang hasil buatan kami diisi oleh ibu-ibu yang mengikut di belakang kami.
Berdatanganlah beberapa warga untuk membantu kami menyelesaikan tugalan di ladang Bapak kepala Kampung, termasuk para guru laki-laki dan satu orang guru perempuan. Kondisi Kampung pada saat itu sangat sepi karena hamper 100% warganya datang ke ladang bapak Kepala Kampung.
“Kalau di Bone nugal juga kah pak?” tanya seorang rekan guru yang pada saat itu berada di sampingku
“Tidak pak, di sana kan sawah, berbeda dengan yang ada di sini” jawabku sambil menugal.
Tangan ini sudah mulai merasa lelah, tumbukkan demi tumbukkan terkadang membuatnya bergetar dan serasa ingin istrahat di tenda. Namun, hanya dengan sedikit paksaan, akhirnya lebih kurang 4 jam bisa kami selesaikan tugalan itu.
Pengalaman ini adalah sebuah peristiwa bersejarah yang tak akan kulupakan dan menjadi pembelajaran baru buatku ketika pulang ke kampung halaman nanti bahwa setiap kebersamaan akan tercipta jalinan kasih dan persaudaraan yang akan mengikat satu dengan yang lainnya.




 Lesan Dayak, 15 Oktober 2015



Syamsul Adil, S.Pd